(021) 22 474 915
0813-1551-3353
08:00 -17:00 WIB
Senin - Jumat

Month: January 2020

Bentuk-Bentuk Saksi Dalam Persidangan


Saksi-saksi dalam persidangan dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk. Berikut bentuk-bentuk saksi tersebut.

Saksi Adercharge

Saksi yang memberikan keterangan menguatkan pada pihak terdakwa atau melemahkan dakwaan penuntut umum.

Saksi Acharge

Saksi-saksi yang memberikan keterangan yang menguatkan pihak jaksa atau melemahkan pihak terdakwa.

Saksi Mahkota

Dimana salah seorang di antara terdakwa dapat menjadi saksi kehormatan berupa perlakukan istimewa, yaitu tidak dituntut atas tindak pidana dimana ia sebenarnya merupakan salah satu pelakunya atau ia dapat dimaafkan atas kesalahannya.

Saksi Relatif Enbevoegd

Saksi relatif enbevoegd adalah mereka yang tidak mampu secara nisbi/relatif. Mereka ini didengar, tetapi tidak sebagai saksi. Misalnya, anak yang belum mencapai umur lima belas tahun, orang gila.

Saksi Absolut Anbevoegd

Hakim dilarang untuk mendengar mereka sebagai saksi karena ada hubungan keluarga sedarah, semenda, suami/istri salah satu pihak (Psal 186 KUHAP).

Saksi de Auditu (Testimonium de Auditu)

Saksi yang tidak perlu didengar kesaksiannya karena mendengar dari pihak ketiga.

Saksi Verbalisan (Penyidik)

Apabila dalam persidangan, terdakwa mencabut keterangannya pada waktu pemeriksaan penyidikan (berita acara penyidikan) atau mungkir, seringkali penyidik yang memeriksa perkara tersebut dipanggil jadi saksi.

Alasan yang paling sering dipergunakan adalah terdakwa ketika diperiksa dalam penyidikan ditekan atau dipaksa atau diancam atau dipukul atau disiksa.

Jika alasan yang dipergunakan dipukul atau disiksa, seringkali hakim bertanya mana bekas pukulan atau siksaan penyidik?

Tentu saja pertanyaan seperti ini sangat lucu. Ini karena pukulam atau siksaan kadang-kadang sudah hilang, kecuali jika berkas perkara tersebut cepat-cepat dilimpahkan atau siksaan tersebut mengakibatkan luka.

Disamping pertanyaan seperti tersebut diatas pada kesempatan sidang berikutnya, penyidik yang memeriksa terdakwa dipanggil dalam sidang dan dijadikan saksi.

Saksi Bersuara

Saksi yang ditemukan oleh hakim dan jaksa seperti surat-surat segel, dan visum dari dokter.

Saksi Diam/bisu

Sidik jari, darah yang menempel di dinding atau di lantai, sperma, dan lainnya

Saksi yang berdiri sendiri

Saksi yang tidak melihat secara utuh suatu tindak pidana terjadi tetapi ada hubungan sedemikian rupa.

Saksi Alibi

Saksi yang menyatakan bahwa terdakwa tidak berada di tempat kejadian ketika peristiwa atau tindak pidana terjadi.

Saksi Fakta / Saksi Kunci

Saksi yang sangat penting, yang dianggap mengetahui permasalahan dan dapat membantu dalam persidangan.

Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Dalam Pasal 185 ayat (6), dikatakan, dalam menilai keterangan saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni :

  • Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain.
  • Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.
  • Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan tertentu.
  • Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang umumnya dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.

Ditulis ulang dari buku, Dr. Alfitra, SH.,MH. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata, dan KORUPSI di Indonesia Edisi Revisi Hal 94-101 (Raih Asa Sukses, Jakarta 2018)

Strategi Penyelesaian Sengketa Bisnis

Tujuan adanya strategi dalam sengketa bisnis adalah suatu strategi masyarakat dalam mencari metode untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa. Banyak energi dan invovasi yang berasal dari para non-ahli hukum mengkreasikan berbagai bentuk penyelesaian sengketa. Berbagai macam strategi dalam penyelesaian perkara sengketa bisnis baik secara formal maupun non-formal dapat dijadikan acuan untuk menjawab sengketa yang ada (Suyud margono. Penyelesaian sengketa bisnis. Jakarta: Ghallia Indonesia hlm. 17).

Setiap orang selalu mempunyai sudut pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Begitu juga dalam hal penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis. Perdebatan yang panjang dan perbedaan pendapat selalu menyelimuti dalam suatu sengketa dan menjadikan hal tersebut menjadikan suatu permasalahan menjadi sulit untuk dipecahkan dan juga diselesaikan. Dan juga tidak akan ditemui jalan keluar dari permasalahan. Maka dari itu dibutuhkan beberapa strategi untuk menghidari jalan buntu.

Untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang ada dapat dilalui dengan beberapa strategi penyelesaian sengketa. Strategi penyelesaian sengketa tersebut antara lain :

  • Negosiasi
  • Mediasi
  • Pengadilan
  • Arbitrase

Macam-macam strategi untuk menyelesaikan sengketa bisnis antara lain :

  1. Proses Litigasi

Pilihan pertama seseorang jika dihadapkan dengan sengketa apalagi sengketa bisnis. Pasti yang paling utama yang muncul pertama kali dalam benak adalah pengadilan. Semua menginginkan sengketa yang ada supaya diadili secara hukum yang berlaku, dengan mengajukan perkara sengketa kepada badan hukum yaitu pengadilan. Pengajuan ke Badan Hukum atau Pengadilan ini sering disebut Proses Litigasi.

Pada proses litigasi ini, semua pihak yang berperkara langsung berhadapan di depan majelis peradilan. Para pihak tersebut biasanya didampingi lawyer masing-masing dan mereka sama-sama mempertahankan haknya dan adu argumentasi. Keputusan hasil dari proses litigasi biasanya bersifat memaksa dan juga mempunyai kekuatan hukum tetap, ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang. Keduanya harus menjalankan semua hasil dari litigasi.

Selain litigasi lewat pengadilan, ada litigasi melalui arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa dengan menggunakan seorang arbiter.

2. Proses Non-Litigasi

Proses non litigasi ini adalah salah satu strategi penyelesaian secara kooperatif. Karena dalam proses strategi ini sangat berbeda dengan proses litigasi dalam penyelesaian sengketa bisnis. Dan stratego-strategi non litigasi ini banyak sekali yang memilih pada saat ini. Beberapa strategi penyelesaian non-litigasi seperti :

a. Secara damai atau kekeluargaan

Strategi penyelesaian sengketa yang pertama yaitu penyelesaian secara damai atau kekeluargaan. Strategi ini sering kita jumpai dalam suatu sengketa, karena para pihak tidak ingin memperpanjang masalah dan juga tidak menginginkan urusan tambah rumit. Dengan cara damai atau kekeluargaan inilah yang dapat menghindarkan rasa permusuhancyang terjadi akibat suatu sengketa.

b. Negosiasi

Strategi non-litigasi kedua yaitu negosiasi. Dalam strategi penyelesaian perkara negosiasi ini dilakukan antara para pihak-pihak yang bersengketa tanpa adanya pihak kedua. Dengan cara berkomunikasi untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi kedua pihak yang bersengketa.

c. Mediasi

Mediasi ini hampir sama dengan negosiasi, hanya saja pada mediasi diperlukan orang ketiga yang menjadi mediator. Mediator adalah pihak penengah antara pihak-pihak yang bersengketa, mediator haruslah dari pihak luar agar bisa berlaku adil dan tidak memihak.

d. Konsiliasi

Strategi yang terakhir yaitu konsiliasi. Konsiliasi ini lanjutan dari mediasi, biasanya mediator berubah menjadi konsiliator. Seorang konsiliator mempunyai hak untuk menawarkan beberapa rumusan untuk dijadikan jalan keluar oleh pihak-pihak.

e. Arbitrase

Selanjutnya adalah arbitrase. Arbitrase adalah salah satu cara atau strategi penyelesaian sengketa bisnis yang telah dikenal lama dalam hukum nasional maupun intenasional. Namun demikian sampai pada saat ini belum ada batasan atau defenisi resmi mengenai Arbitrase.

Arbitrase merupakan penyelesaian perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999)

Ditulis ulang dari Buku Fitrotin Jamilah, S.H.I.,M.H.I., Strategi Penyelesaian Sengketa Bisnis Hal 26-28 (Pustaka Yustisia, Yogyakarta 2014)

Perbedaan Laporan, Pengaduan, dan Tertangkap Tangan

Sekilas, laporan dan pengaduan terlihat mempunyai arti sama. Namun, dalam hukum, kedua istilah ini memiliki defenisi berbeda. Secara defenitif, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana (Pasal 1 angka 24 KUHAP). Artinya, seseorang dapat saja melaporkan sesuatu, baik atas kemauannya sendiri ataupun atas kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang.

Sedangkan, pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukuk seorang yang telah melakukan tindak pidana termasuk aduan yang merugikannya (Pasal 1 angka 25 KUHAP). Pengertian ini menunjukkan bahwa aduan bermakna bila seseorang merasa dirugikan hak hukumnya oleh orang lain, maka ia dapat mengadukan perilaku tersebut dengan disertai keinginan untuk memperoleh keadilan atau tuntutan hukum.

Menurut R. Tresna, istilah pengaduan (klacht) tidak sama artinya dengan pelaporan (aangfte) ( R. Tresna, asas-asas Hukum Pidana disertai pembahasan beberapa perbuatan pidana yang penting (Jakarta: Tiara,1959). Perbedaan secara umum keduanya adalah sebagai berikut :

  • Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, dimana adanya pengaduan itu menjadi syarat.
  • Setiap orang dapat melaporkan suatu kejadian sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
  • Pelaporan tindak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, sedangkan pengaduan dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaliknya merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan.

Pengaduan yang bersifat khusus hanya bisa dilakukan oleh pihak tertentu yang berkepentingan, sehingga dapat dicabut sebelum sampai ke persidangan apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu. Jika terjadi pencabutan pengaduan, maka perkara tidak dapat diproses lagi.

Adapun tertangkap tangan, yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau tengah melakukan tindak pidana dipergoki oleh orang lain, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan (Pasal 1 angka 19 KUHAP). Sebagai contohnya adalah berbagai kasus suap yang ditangani KPK.

Terkait laporan maupun aduan, dalam praktiknya di masyarakat, lebih sering digunakan istilah yang sama, yakni pelaporan. Hal tersebut dikarenakan status yang disandang yang memasukkan laporan maupun aduan disebut pelapor.

Dalam melakukan pelaporan atau pengaduan ke kepolisian, dapat dilakukan sendiri ataupun langsung mengajak atau didampingi oleh kuasa hukum/pengacara/advokat. Namun, pada prinsipnya, jika si pelapor hendak melakukan pelaporan sendiri diperbolehkan. Ketika si pelapor datang ke kepolisian, ia akan diarahkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) atau juga sering disebut Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), serta diminta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke Kepolisian. Selin itu, jika si pelapor hendak langsung didampingi atau mewakilkan pelaporan kepada advokatnya diperbolehkan, sepanjang advokat sudah diberikan surat kuasa khusus untuk diwakilkan dari pelapor sebagai kliennya.

Ditulis ulang dari Buku Lukman Santoso AZ, Anti Bingung Beracara di Pengadilan dan Membuat Surat Kuasa, hal 21-24 (Cet-Laksana Yogyakarta 2017)


Pengecualian Terhadap Suatu Peraturan Hukum

rs-lawyer.id – Selain pembatasan terhadap pemberlakuan suatu peraturan hukum, terdapat pula pengecualian pemberlakuan suatu peraturan hukum. Pengecualian terhadap suatu peraturan hukum biasanya dinyatakan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut. Pengecualian yang demikian dikenal dengan istilah klausula eksepsional. Hampir di semua lapangan hukum, baik hukum materiil maupun hukum formil, terdapat pengecualian untuk memberlakukan peraturan hukum tersebut. Hukum materiil adalah sekumpulan aturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang pemberlakuannya dapat dipaksakan. Sedangkan hukum formil adalah sekumpulan aturan untuk menegakkan hukum materiil.

Terkait dengan hal ini, kita harus mengintegrasikan pengecualian ke dalam analisis kita terhadap aturan hukum. Analisis kita ini akan lebih kompleks karena tidak hanya akan menyangkut satu ayat dari suatu aturan hukum, namun analisis beberapa ayat yang terkait yang menyangkut satu hal yang sama. Kita akan melakukan analisis ini dengan menambah syarat-syarat kumulatif dan juga menggunakan negasi. Contoh pengecualian terhadap peraturan hukum dalam lapangan hukum materiil namun berkaitan dengan hukum pidana adalah ketentuan dalam Pasal 310 KHUP yang menyebutkan :

(1) Barang siapa merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 300,- (tiga ratus rupiah).

(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa untuk mempertahankan dirinya sendiri.

Ketentuan dalam Pasal 310 ayat (3) adalah pengecualian terhadap ketentuan dalam ayat (1). Artinya, jika ketentuan ayat (3) tersebut terpenuhi maka ayat (1) tidak dapat diterapkan. Analisisnya adalah sebagai berikut :

  • AH : Orang tersebut dapat dihukum karena menista dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 300,- (tiga ratus rupiah).
  • S1a : Seseorang merusak kehormatan orang lain.
  • S1b : Seseorang merusak nama baik orang lain.
  • S2 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan.
  • S3 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu.
  • S4 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya bukan untuk kepentingan umum.
  • S5 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya bukan untuk pembelaan diri.

Ada kalanya pengecualian terhadap suatu peraturan hukum tidak dinyatakan secara eksplisit dalam suatu aturan. Dalam konsteks hukum pidana pengecualian terhadap suatu peraturan hukum merupakan alasan penghapus pertangungjawaban pidana yang secara garis besar terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar berarti sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana dihapus, sedangkan alasan pemaaf berarti sifat dapat dicelanya pelaku kejahatan yang dihapus. Alasan pembenar meliputi perintah jabatan, perintah undang-undang, pembelaan terpaksa dan keadaan darurat. Sementara alasan pemaaf meliputi kemampuan bertanggung jawab, perintah jabatan yang tidak sah, pembelaan terpaksa yang melampaui batas dan daya paksa.

Disalin dari Buku Keterampilan Hukum Oleh Sigit Riyanto, DKK (Hal 44).