(021) 22 474 915
0813-1551-3353
08:00 -17:00 WIB
Senin - Jumat

Month: April 2020

Covid-19 sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat dan hubungannya dengan kewenangan Notaris melalui Cyber Notary?

rs-lawyer.id | Sebagaimana difahami bahwa Pembuktian Elektronik dinyatakan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE :  Pasal 5

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen.

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : 1. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan 2. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6 : Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Demikian juga dalam kaitannya dengan “Produk Notaris”, dimana Notaris berwenang membuat 2 (dua) Jenis akta yaitu: 1. Akta yang dibuat “oleh” notaris atau dinamakan “akta relaas” atau akta (ambtelijke akte), akta ini merupakan suatu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yaitu notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu. Termasuk di dalam akta “relaas” ini antara lain berita acara rapat/risalah para pemegang saham dalam perseroan terbatas.

2. Akta yang dibuat “di hadapan” notaris atau yang dinamakan “akta partij” (partij akten), akta yang dibuat dihadapan notaris, akta ini yang berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang di lakukan oleh pihak lain di hadapan notaris, artinya yang diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan notaris dan memberikan kerterangan itu di hadapan notaris, agar keterangan itu dikonstantir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Termasuk dalam golongan akta ini yaitu Perjanjian Sewa Menyewa, Jual Beli Saham, Jual Beli Mesin, Wasiat, Kuasa dan lain sebagainya. Terdapat syarat formil yang harus dipenuhi untuk mendukung keabsahan Akta Notaris. Bahwa syarat formil tersebut bersifat kumulatif dan bukan bersifat alternatif, artinya satu syarat saja tidak terpenuhi maka mengakibatkan Akta Notaris tersebut mengandung cacat formil dan berarti akibatnya tidak sah dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Dibuat dihadapan pejabat yang berwenang

Berkaitan dengan hal tersebut maka harus diperhatikan :

  • Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;
  • Notaris harus berwenang sepanjang yang mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;
  • Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;
  • Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Dihadiri para pihak :

Pasal 16 ayat (1) huruf l mengatakan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Berkaitan dengan hal tersebut dapat dipedomani Putusan MARI 3556 K/Pdt/1985 (walaupu untuk akta PPAT), dimana pihak penjual sendiri tidak datang menghadap, tetapi hanya dihadiri pembeli saja dengan keterangan bahwa para pihak telah sepakat mengadakan transaksi jual beli. Pada kasus tersebut pengadilan menegaskan, perjanjian jual beli yang tertuang dalam akta PPAT secara yuridis tidak memenuhi syarat untuk sahnya akta, karena tidak dihadiri oleh para pihak.

Alasan yang menyatakan akta demikian tidak sah, karena Akta Notaris yang bersifat Partij harus memuat keterangan yang saling bersesuaian antara kedua belah pihak sebagai landasan yang melahirkan persetujuan. Dari mana Notaris mengetahui adanya persesuaian pendapat antara para pihak, kalau yang datang memberikan dihadapan Notaris hanya satu pihak saja.

3. Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada Notaris

Pasal 39 UUJN-P mengatakan :

1. Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan

b. cakap melakukan perbuatan hukum.

2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

3. Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam Akta.

Bahwa dalam setiap Akta Notaris harus terdapat pernyataan dari Notaris bahwa para penghadap dikenal atau diperkenalkan kepadanya. Biasanya yang memperkenalkan para pihak pada Notaris adalah saksi. Para pihak datang kepada Notaris dan menyampaikan kehendaknya untuk kemudian dituangkan ke dalam akta.

4. Dihadiri oleh dua orang saksi

Bahwa pembuatan Akta Notaris dihadiri dua orang saksi yang bertindak menyaksikan kebenaran “berlangsungnya pembuatan akta dihadapan Notaris”.

Menurut Pasal 40 UUJN:

1. Setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain.

2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah;

b. cakap melakukan perbuatan hukum;

c. mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta;

d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan

e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

3. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.

4. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta.

Apabila yang bertidak sebagai saksi termasuk orang yang dilarang Pasal 40 UUJN, maka akta tersebut tidak sah sebagai Akta Notaris, tetapi hanya bernilai sebagai akta bawah tangan.

5. Menyebutkan Identitas Notaris, penghadap dan para saksi sebagaimana diatur dalam pasal 38 UUJN.

Pasal 38 UUJN menyebutkan :

1. Setiap Akta terdiri atas:

a. awal Akta atau kepala Akta;

b. badan Akta; dan

c. akhir atau penutup Akta.

2. Awal Akta atau kepala Akta memuat :

a. judul Akta;

b. nomor Akta;

c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan

d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

3. Badan Akta memuat :

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan

d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

4. Akhir atau penutup Akta memuat :

a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada;

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

5. Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.

Bahwa pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 38 mengakibatkan Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, apabila para pihak menandatanganinya.

6. Menyebut tempat, jam, hari, bulan dan tahun pembuatan akta sebagaimana disebutan dalam pasal 38 UUJN.

7. Notaris membacakan akta dihadapan para penghadap.

Pasal 16 ayat (1) huruf m menyebutkan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan

Pasal 16 ayat (7) menyebutkan: Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

8. Ditanda-tangani semua pihak.

Penandatanganan Akta Notaris sebagaimana disebutkan Pasal 44 UUJN dilakukan segera setelah selesai pembacaan akta kepada para pihak dan saksi.

Pasal 44 UUJN menyebutkan :

1. Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.

2. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.

3. Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.

4. Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) serta dalam Pasal 43 ayat (3) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.

5. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

9. Penegasan pembacaan, penerjemahan dan penanda-tanganan pada akhir akta.

Bahwa pencantuman yang berisi penegasan penandatanganan dalam penutup akta bertujuan untuk mengidentifikasi tandatangan para pihak dalam akta tersebut.

Pasal 38 ayat (4) UUJN menyebutkan :

Akhir atau penutup Akta memuat :

a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada;

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

Dalam ketentuan lain berdasarkan pasal 164 HIR dan 284 Rbg serta pasal 1886 KUHPerdata ada lima alat bukti dalam perkara perdata di Indonesia, yaitu :

1. alat bukti tertulis

2. alat bukti saksi

3. alat bukti persangkaaan

4. alat bukti pengakuan

5. alat bukti sumpah

Akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah :

“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuknya yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Maka, unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai berikut :

1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum;

2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

3. Bahwa akta itu dibuat di hadapan yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana dibuat.

Berkaitan dengan Alat Bukti Tertulis atau surat dalam acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti dalam acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dan paling utama di banding yang lain.

Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan atau pikiran seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan orang lain yang dapat digunakan untuk alat pembuktian.

Ada dua macam alat bukti tertulis atau surat, yaitu :

1. Surat yang bukan akta, dan

2. Surat yang berupa akta; yang dapat dibagi lagi atas:

a. Akta Otentik; dan

b. Akta dibawah tangan.

Lebih jauh Akta Otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, 285 RBg dan 1868 KUHPerdata akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut peraturan perundang itu oleh pemerintah menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku, baik undangan yang berlaku, baik dengan maupun tanpa bantuan pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oelh yang berkepentingan.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah Notaris, Panitera,Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, dsb. Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, dsb.

Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau orang warisnya atau orang- orang yang mendapatkan hak daripadanya.

Dengan katalain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidakbenaran lainnya tidak dapat dibuktikan.

Kewenangan notaris sendiri dapat dilihat dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yaitu :

a. Kewenangan Umum Notaris

Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris, yaitu membuat akta secara umum,hal ini disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris, dengan batasan sepanjang :

  • Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
  • Menurut Lubbers, bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (kedalam bentuk akta), tapi juga mencatat dan menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikirkan juga bahwa akta itu harus berguna dikemudian hari jika terjadi keadaan yang khas.
  • Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
  • Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.

Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut di dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris :

  • Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak kedalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
  • Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
  • Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.

b. Kewenangan Khusus Notaris

Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu :

  • Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  • Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  • Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
  • Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
  • Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
  • Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
  • Membuat akta risalah lelang.

c. Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian.

Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan ditentukan kemudian (ius constituendum).

Hubungannya dengan Notaris dan Kewenangannya?

Dirjen AHU Kemenkumham RI: Cahyo Rahadian Muzhar pada tanggal 1 Juli 2019 ketika melakukan pengukuhan pengurus PP INI, menyatakan :

Notaris harus dapat membantu pemerintah dalam menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan investasi yang nyaman dan aman bagi para investor, khususnya dari luar negeri.

“Profesi notaris bersama dengan akuntan dan pengacara merupakan profesi yang sangat penting bagi pengembangan iklim investasi di Indonesia.

Oleh karena itu, integritas dan profesional seorang notaris sangat diperlukan dalam mensukseskan era Industri 4.0.”

Memang beberapa waktu yang lalu dunia notaris sudah disosialisasikan dengan cyber notary. Walaupun sampai dengan sekarang masih sebatas konsep.

Cyber notary adalah konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi bagi para notaris dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, seperti: digitalisasi dokumen, penanda-tanganan akta secara eletronik, pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham secara teleconference, dan hal-hal lain yang sejenis.

Pada dasarnya konsep cyber notary tersebut sudah pernah di perkenalkan pada tahun 1995. Namun, berhubung belum adanya fasilitasi berupa UU yang mengatur mengenai cyber notary tersebut, maka konsep cyber notary dimaksud menjadi hanya sebatas konsep saja, sehingga dalam konteks era digital 4.0 sekarang ini masih belum tersambung.

Pada prinsipnya, konsep cyber notary ditujukan untuk mempermudah transaksi antara para pihak yang tinggalnya berjauhan, sehingga jarak bukan menjadi masalah lagi. contohnya, pemegang saham yang berada di Amerika, Jepang ataupun singapura, dapat mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan menggunakan media teleconference dengan pemegang saham yang ada di Indonesia, dengan disaksikan oleh Notaris di Indonesia.

Sehingga, kehadiran fisik dari pemegang saham tersebut tidak diperlukan. Pemegang saham yang berada di luar negeri tersebut dapat dianggap tetap menghadiri RUPS dimaksud dan hak suaranya tetapi di hitung dalam quorum kehadiran.

Demikian pula pada saat penanda-tanganan akta RUPS dimaksud, pemegang saham yang keberadaannya di luar negeri tersebut dapat menanda-tangani dokumen rapat secara elektronik.

Konsep mengenai pelaksanaan RUPS secara teleconference ini pada dasarnya sudah diatur dalam pasal 77 UUPT, yang pada ayat 1 nya menyatakan bahwa penyelenggaraan RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.

Akan tetapi ternyata tidak merubah esensi Pasal 38 UUJN.

Memang dalam hal kebutuhan bisnis memerlukan kecepatan dan ketepatan menjadi urgensi yang harus diperhatikan. Namun demikian, sifat otentik dari suatu akta notaris tetap harus dijaga. Dan secara normative konsep cyber notary tersebut belum diakomodasi dalam UUJN.

Pasal 1 angka 7 UUJN merumuskan Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan Undang-Undang ini.

Selanjutnya, pasal 16 ayat (1) huruf i merumuskan :

Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.

Termasuk keadaan sekarang ini dalam KEDARURATAN KESEHATAN MASYARAKAT, tidak ada pengaturan yang dapat dirujuk atau dijadikan dasar hukum berkaitan dengan PENGESAMPINGAN ketentuan UUJN dan UUJN-P, termasuk tentunya UU ITE (Pasal 5 ayat (4).

Pemberlakukan UUJN juncto UUJN-P adalah hukum yang memaksa, dimana Hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya.

(Dr. Udin Narsudin, SH., M.Hum., SpN).


Pengakuan Anak Berdasarkan Akta Notaris Dikaitkan dengan UU Aminduk

Bisakah Notaris Membuat Akta Pengakuan Anak, Karena Menurut UU Aminduk Saja Dibolehkan

rs-lawyer.id | Untuk menjawabnya tentu harus berangkat dari pertanyaan apa yang dimaksud dengan pengakuan anak dan pengesahan anak?

Berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata memuat pengaturan mengenai, bagaimana pengakuan secara sukarela itu diberikan, dengan mengatakan:

Terdapat 3 (tiga) cara untuk mengakui anak luar kawin (ALK) secara sukarela, yaitu :

  • DI DALAM AKTA KELAHIRAN anak yang bersangkutan;
  • DI DALAM AKTA PERKAWINAN; dan
  • DI DALAM AKTA OTENTIK.

Karena pengakuan itu baru sah kalau diberikan di hadapan seorang Notaris atau Pegawai catatan sipil (bisa dalam surat lahir, akta perkawinan, maupun dalam akta tersendiri), padahal keduanya adalah pejabat Umum, yang memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka dapat dikatakan, bahwa PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN HARUS DIBERIKAN DALAM SUATU AKTA OTENTIK.

Bahwa Pengakuan Anak berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU No. 23/2006 tentang Adminitrasi Kependudukan (Adminduk), yang dimaksud dengan pengakuan anak adalah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir diluar ikatan perkawinan sah atas persetujuan ibu kandungnya tersebut. Pengertian anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang dapat diakui  tidak termasuk anak zina dan anak sumbang.

Pengakuan anak dalam penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, selaras dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dan Pasal 44 UU Perkawinan, karenanya yang mengakui sebagai anak itu bukan ibu yang melahirkannya, melainkan ayahnya dalam rangka menyatakan/menetapkan keturunannya.

Menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan secara otomatis dan demi hukum, mempunyai hubungan dengan ibu yang melahirkan seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan, karenanya tidak diperlukan adanya pengakuan ibunya.

Demikian pula berdasarkan Pasal 44 UU Perkawinan seorang ayah dapat mengingkari seseorang bukan anak sahnya, yang kesahan/ketidaksahannya ditetapkan oleh pengadilan, artinya ada kemungkinan seorang ayah memberikan pengakuan terhadap seseorang sebagai anaknya secara paksa berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal 49 UU No. 23/2006 yang kemudian diubah dengan UU No. 24/2013 Tentang Administrasi Kependudukan, mempersempit pengertian pengakuan anak. Batasannya dirumuskan lagi dalam penjelelasan atas Pasal 49 ayat (1) UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi: ”YANG DIMAKSUD DENGAN PENGAKUAN ANAK MERUPAKAN PENGAKUAN SEORANG AYAH TERHADAP ANAKNYA YANG LAHIR DARI PERKAWINAN YANG TELAH SAH MENURUT HUKUM AGAMA DAN DISETUJUI OLEH IBU KANDUNG ANAK TERSEBUT”.

Dengan demikian Pengakuan Anak terbatas pada anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama. Dan pengakuan anak  yang dimaksud dalam UU Adminduk dibatasi hanya pada anak hasil perkawinan yang telah san menurut hukum agama (perkawinan tidak tercatat).

Bandingkan dengan PUTUSAN MK Nomor 46/PUU-VIII/2010

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

Lalu apa yang dimaksud dengan PENGESAHAN ANAK?

Berdasarkan Isi Pasal 277 KUHPerdata dapat disimpulkan, bahwa PENGESAHAN MERUPAKAN SARANA HUKUM, DENGAN MANA SEORANG ANAK LUAR KAWIN DIUBAH STATUS HUKUMNYA SEHINGGA MENDAPATKAN HAK-HAK SEPERTI YANG DIBERIKAN OLEH UNDANG-UNDANG KEPADA SEORANG ANAK SAH.

Tindakan pengesahan bisa kita mengerti kalau kita menyadari, bahwa kedudukan anak luar kawin termasuk yang sudah diakui secara sah oleh bapaknya di dalam hukum adalah dianggap sama dibanding dengan anak sah, dalam segi hak-haknya, baik dalam hukum keluarga, tetapi juga dan terutama di dalam hukum waris.

Sebagaimana difahami anak luar kawin yang diakui secara sah oleh bapaknya, hanya mempunyai hubungan-hukum dengan bapaknya saja (mempunyai akibat-hukum yang terbatas). Mereka berada di bawah perwalian (Pasal  300 KUHPerdata), dan dalam pewarisan, mereka mendapat hak bagian yang lebih kecil daripada jika mereka adalah anak sah (Pasal 863 KUHPerdata dan selanjutnya).

Bahwa “tindakan” pengesahan, dapat kita simpulkan, bahwa “PENGESAHAN” MERUPAKAN SUATU TINDAKAN AKTIF, sehingga tidak mungkin tercapai dengan hanya tinggal diam saja.

Anak yang lahir diluar perkawinan dapat disahkan sebagai anak sah melalui perkawinan kedua orang tuanya. Pengesahan anak ini merupakan tindak lanjut dari pengakuan anak. Akibat hukum dari pengakuan anak hanya menimbulkan hubungan perdata antara anak luar kawin yang diakui dengan ayahnya atau ibunya.

Pengesahan anak merupakan upaya hukum untuk memberikan legalisasi kepada seseorang dengan status dan hak sebagai anak sah sesuai dengan hukum masing-masing negara.

Pengaturan pengesahan anak-pun hanya dibatasi pada anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama sebagaimana penjelasan Pasal 50 ayat (1) UU No. 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan yaitu:

“yang dimaksud dengan pengesahan anak merupakan pengesahan status anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara”.

(Dr. Udin Narsudin, SH., M.Hum., SpN).


UU No.6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Download)

Beberapa ketentuan umum yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah :

  1. Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
  2. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
  3. Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau Barang di sekitarnya.
  4. Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
  5. Karantina Rumah adalah pembatasan penghuni dalam suatu rumah beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
  6. Karantina Rumah Sakit adalah pembatasan seseorang dalam rumah sakit yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
  7. Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
  8. Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
  9. Status Karantina adalah keadaan Alat Angkut, orang dan Barang yang berada di suatu tempat untuk dilakukan Kekarantinaan Kesehatan.
  10. Zona Karantina adalah area atau tempat tertentu untuk dapat menyelenggarakan tindakan Kekarantinaan Kesehatan.
  11. Persetujuan Karantina Kesehatan adalah surat pernyataan yang diberikan oleh pejabat karantina kesehatan kepada penanggung jawab Alat Angkut yang berupa pernyataan persetujuan bebas karantina atau persetujuan karantina terbatas.
  12. Pengawasan Kekarantinaan Kesehatan adalah kegiatan pemeriksaan dokumen karantina kesehatan dan faktor risiko kesehatan masyarakat terhadap Alat Angkut, orang, serta Barang oleh pejabat karantina kesehatan.
  13. Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat adalah haI, keadaan, atau peristiwa yang dapat mempengaruhi kemungkinan timbulnya pengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat.
  14. Terjangkit adalah kondisi seseorang yang menderita penyakit yang dapat menjadi sumber penular penyakit yang berpotensi menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
  15. Terpapar adalah kondisi orang, Barang, atau Alat Angkut yang terpajan, terkontaminasi, dalam masa inkubasi, insektasi, pestasi, ratisasi, termasuk kimia dan radiasi.
  16. Pejabat Karantina Kesehatan adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di bidang kesehatan yang diberi kewenangan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk melaksanakan Kekarantinaan Kesehatan.
  17. Dokumen Karantina Kesehatan adalah surat keterangan kesehatan yang dimiliki setiap Alat Angkut, orang, dan Barang yang memenuhi persyaratan baik nasional maupun internasional.

Azas kekarantinaan kesehatan terdapat dalam pasal 2 uu no. 6 tahun 2018 yaitu:

a. perikemanusiaan;
b. manfaat;
c. pelindungan;
d. keadilan;
e. nondiskriminatif;
f. kepentingan umum;
g. keterpaduan;
h. kesadaran hukum; dan
i. kedaulatan negara.

Tujuan Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dalam UU No.6 Tahun 2018 adalah:

a. Melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
b. Mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
c. Meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat; dan
d. Memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.