• Law Office Ryanto Sirait & Partners
+ (6221) 478 65 971
+ (62) 813 1551 3353
08:00 - 18:00
Senin - Jumat

Arsip: 20 October 2022

TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI

Sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana pada umumnya, bahwa pemeriksaan atau persidangan suatu perkara adalah ditempuh dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

  1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali perkara tertentu dinyatakan tertutup untuk umum);
  2. Jaksa Penuntut Umum diperintahkan untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan dalam keadaan bebas;
  3. Terdakwa ditanyakan identitasnya dan ditanya apakah sudah menerima salinan surat dakwaan;
  4. Terdakwa ditanya pula apakah dalam keadaan sehat dan bersedia untuk diperiksa di depan persidangan (kalau bersedia sidang dilanjutkan);
  5. Terdakwa ditanyakan apakah akan didampingi oleh Penasihat Hukum (apabila didampingi apakah akan membawa sendiri, kalau tidak membawa sendiri akan ditunjuk PH oleh Majlis Hakim dalam hal terdakwa diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih/pasal 56 KUHAP ayat (1);
  6. Dilanjutkan pembacaan surat dakwaan;
  7. Atas pembacaan surat dakwaan tadi terdakwa (PH) ditanya akan mengajukan eksepsi atau tidak;
  8. Dalam terdakwa/PH mengajukan eksepsi maka diberi kesempatan dan sidang ditunda;
  9. Apabila ada eksepsi dilanjutkan tanggapan JPU atas eksepsi (replik);
  10. Selanjutnya dibacakan putusan sela oleh Majlis Hakim;
  11. Apabila eksepsi ditolak dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara (pembuktian);
  12. Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh PU (dimulai dari saksi korban);
  13. Dilanjutkan saksi lainnya;
  14. Apabila ada saksi yang meringankan diperiksa pula, saksi ahli Witness/expert);
  15. Pemeriksaan terhadap terdakwa;
  16. Tuntutan (requisitoir);
  17. Pembelaan dari Terdakwa atau Penasihat Hukum (pledoi);
  18. Replik dari jaksa Penuntut Umum;
  19. Duplik dari dari Terdakwa atau Penasihat Hukum;
  20. Putusan oleh Majelis Hakim.

TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA GUGATAN DI PENGADILAN NEGERI

Sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata pada umumnya, bahwa pemeriksaan atau persidangan suatu perkara adalah ditempuh dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

  1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum;
  2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang;
  3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat ijin praktik dari organisasi advokat;
  4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan dengan perkara secara damai;
  5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008);
  6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya;
  7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YME;
  8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat; (jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi);
  9. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat rekonvensi;
  10. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai tergugat rekonvensi;
  11. Pada saat surat menyurat (jawab menjawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
  12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi);
  13. Pembuktian.
  14. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
  15. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
  16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;
  17. Kesimpulan dari Penggugat dan Tergugat;
  18. Musyawarah oleh Majelis Hakim (bersifat rahasia);
  19. Pembacaan Putusan;
  20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak dapat diterima;
  21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari;
  22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.

Sumber : https://pn-karanganyar.go.id/

I. Putusan Sela dalam Perkara Perdata

Putusan adalah: suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga peryataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.

Ada dua golongan putusan dalam perkara perdata, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela adalah putusan yang diadakan sebelum hakim memutus perkaranya, yaitu yang memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Jadi putusan sela ini diambil oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusan akhir.

Mengenai putusan sela disinggung dalam Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 48 Rv. Menurut pasal tesebut, “hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir (eind vonnis), yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan beriangsung”. Namun putusan itu tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai pokok perkara. Putusan tersebut adalah, putusan preparatoir, putusan interlocutoir, putusan insidentil dan putusan prvisionil.

Putusan Sela atau putusan antara, gunanya untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela adalah suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir yang berisikan beban pembuktian antara tergugat dan penggugat, fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara.

Putusan sela ini menurut Pasal 185 HIR/196 RBg adalah:

  1. Putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah melainkan hanya tertulis dalam berita acara persidangan saja.
  2. Kedua belah pihak dapat meminta, supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan ongkos sendiri.

Jenis-jenis Putusan Sela:

  1. Putusan Preparatoir

Putusan preparatoir (preparatoir vonnis) merupakan salah satu bentuk spesifikasi yang terkandung dalam putusan sela. Tujuan putusan ini merupakan persiapan jalannya pemeriksaan. Misalnya sebelum hakim memulai pemeriksaan, lebih dahulu menerbitkan putusan perparatoir tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan.

2. Putusan Interlocutoir

Putusan Interlocutoir adalah putusan sela yang berisi perintah untuk mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap bukti-bukti yang ada pada para pihak yang sedang berperkara dan para saksi yang dipergunakan untuk menentukan putusan akhir.

Menurut R. Soepomo, seringkali Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan interlocutoir saat proses pemeriksaan tengah beriangsung. Putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela (een interlocutoir vonnis is een special sort tussen vonnis) yang dapat berisi bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, antara lain sebagai berikut:

a. Putusan interlokutor yang memerintahkan pendengaran keterangan ahli, berdasarkan Pasal 154 HIR Apabila hakim secara ex officio maupun atas perintah salah satu pihak, menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang kompeten menjelaskan hal yang belum terang tentang masalah yang disengketakan, hal itu dituangkan dalam putusan sela yang disebut putusan interlokutor.

b. Memerintahkan pemeriksaan setempat (gerechtelijke plaatssopmening) berdasarkan Pasal 153 HIR Jika hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu dilakukan pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlokutor yang berisi perintah kepada hakim komisaris dan panitera untuk melaksanakannya.

c. Memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah penentu atau tambahkan brdasarkan Pasal 155 HIR, Pasal 1929 KUHPerdata maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlokutor.

d. Bisa juga memerintahkan pemanggilan saksi berdasarkan Pasal 139 HIR, yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat tetapi tidak dapat menghadirkannya berdasarkan Pasal 121 HIR, pihak yang berkepentingan dapat meminta kepda hakim supaya saksi tersebut dipanggil secara resmi oleh juru sita. Apabila permintaan ini dikabulkan, hakim menerbitkan surat perintah untuk itu yang dituangkan dalam bentuk putusan interlokutor.

e. Putusan interlokutor dapat juga diterbitkan hakim untuk memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang terlibat dalam suatu sengketa oleh akuntan publik yang independent.

3. Putusan Insidentil

Putusan Insidentil (incidenteel vonnis) merupakan putusan sela yang berkaitan langsung dengan gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang dibebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita agar sita dilaksanakan yang disebut cautio judicatum solvi.

4. Putusan Provisi

Diatur dalam Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg disebut juga provisionele heschikking, yakni putusan yang bersfat sementara atau interim award (temporary disposal) yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Dengan demikian putusan provisi ini tidak boleh mengenai materi pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan sementara berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan, misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah yang menjadi obyek perkara dengan ancaman hukuman membayar uang paksa.

Fungsi putusan sela dalam proses pemeriksaan perkara perdata adalah untuk memungkinkan dan mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara seterusnya. Dan Perkara perdata yang dapat dimintakan putusan sela adalah hanya terhadap perkara perdata yang memerlukan untuk pemeriksaan ditempat, putusan pemisahan beberapa gugatan, putusan provisi dan putusan untuk membuktikan dengan pemeriksaan saksi.

II. Putusan Sela dalam Perkara Pidana

Dalam persidangan perkara pidana untuk kesempatan pertama Jaksa Penuntut Umum akan membacakan surat Dakwaan. Selanjutnya terhadap Surat Dakwaan ini, Terdakwa atau Penasihat Hukum terdakwa akan menjawab surat Dakwaan dan ini disebut dengan Eksepsi/Tangkisan (plead). Tentang bentuk putusan hakim terhadap eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya yang berupa ‘Putusan’, dapat “putusan bukan putusan akhir (Putusan Sela)” dan “putusan akhir (final)”, tergantung alasan keberatan yang disampaikan oleh Terdakwa.  

Biasanya sebelum ‘putusan sela’ dijatuhkan oleh hakim, proses diawali dengan pengajuan eksepsi atau keberatan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya. Bisa juga pengajuan eksepsi berbarengan setelah penuntut umum selesai membacakan dakwaan dan hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya untuk mengajukan eksepsi atau keberatan. Selanjutnya hakim memberikan hak/kesempatan kepada penuntut umum untuk menanggapi (menyatakan pendapat) tentang eksepsi yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, dan ini sudah bersifat final karena undang-undang tidak membuka kesempatan untuk ditanggapi lagi.

Apabila hakim “menerima eksepsi atau keberatan” yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, maka pemeriksaan perkara ‘tidak dilanjutkan (dihentikan)’. Penghentian atau tidak melanjutkan pemeriksaan ini adalah bersifat ‘permanen’, jika Penuntut Umum tidak mengajukan perlawanan ke Pengadilan tinggi. Apabila hakim “menolak eksepsi atau keberatan” dari terdakwa atau penasehat hukumnya, berarti Pengadilan Negeri yang bersangkutan berwenang untuk mengadilinya. Pemeriksaan perkara ‘harus’ dilanjutkan, tidak boleh dihentikan.

Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Eksepsi penasihat hukum inilah yang memegang peranan penting dalam dijatuhkannya putusan sela oleh hakim. Kedudukan putusan sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.

Putusan sela diatur sebagaimana dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan pelaksanaannya juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan sela merupakan salah satu alat kontrol terhadap kinerja Jaksa / Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan datau dalam melakukan suatu penyidikan.

Bentuk putusan hakim atas eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya adalah sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yaitu berupa ‘penetapan’ dan ‘putusan’ yang dapat berbentuk putusan sela dan putusan akhir dan upaya hukum terhadap putusan hakim atas eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya dan oleh penuntut umum adalah berupa perlawanan yang diatur dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, Pasal 149 ayat (2) KUHAP, Pasal 156 ayat (3) KUHAP dan Pasal 214 ayat (4) KUHAP, dan bersama-sama permintaan banding yang diatur dalam Pasal 156 ayat (5) huruf a KUHAP.

Putusan sela dalam Perkara Pidana dapat disimpulkan dari Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang menentukan: “Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

Pasal 156 ayat (2), berbunyi : Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

Adapun putusan sela dalam perkara pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat berupa:

  1. Surat dakwaan batal demi hukum, karena surat dakwaan tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
  2. Bahwa dalam perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, maka surat pelimpahan perkara akan di kembalikan kepada jaksa penuntut umum, untuk selanjutnya kejasaan negeri yang bersangkutan akan menyampaikan kepada kejaksaan negeri yang tercantum dalam penetapan hakim ( Pasal 148 KUHAP).
  3. Surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, karena  surat dakwaan tersebut sudah lewat waktu (daluarsa), pemeriksaan untuk perkara yang sama sudah pernah dilakukan (nebis in idem), dan perkara memerlukan syarat aduan.

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

Hukum pidana dibagi menjadi dua yaitu:

Hukum pidana materiil, yaitu kumpulan aturan yang berisi tentang perbuatan apa saja yang dapat dihukum (KUHP).

Hukum pidana formil, yaitu kumpulan peraturan yang berisi tata cara bagaimana menghukum perbuatan yang dapat dihukum tadi (KUHAP).

Menurut Prof. Moeljatno, SH, Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang memberi dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.

Menurut Simons, Hukum Acara Pidana di sebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana Negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk memidanankan dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.

Tujuan Hukum Acara Pidana

Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.

Van Bemellen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu :

  1. Mencari dan menemukan kebenaran;
  2. Pemberian keputusan oleh hakim;
  3. Pelaksanaan keputusan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung, hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana dan merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badanbadan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.

Menurut Eddy O.S. Hiariej, hakikatnya hukum acara pidana memuat kaidah-kaidah yang mengatur tentang penerapan atau tata cara antara lain: penyelidikan, penyidikan, penuntutan pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan putusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan, maka, pengertian hukum acara pidana dapat dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kaidah dalam beracara diseluruh proses peradilan pidana, sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan didepan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materil.

Asas-asas Hukum Acara Pidana

  1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
  2. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)
  3. Asas Oportunitas
  4. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
  5. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama Di Depan hakim
  6. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya Tetap
  7. Asas Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
  8. Asas Akusator dan Inkisator
  9. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan dengan Lisan

Pihak-Pihak yang terkait dalam hukum acara pidana

  1. Penyidik/Penyelidik
  2. Penuntut Umum
  3. Hakim
  4. Tersangka/Terdakwa/Terpidana
  5. Penasihat Hukum

Rangkaian proses hukum acara pidana

  1. Penyelidikan

“Serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. ketentuan umum KUHAP Pasal 1 butir 5.

2. Penyidikan

“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”.

3. Penangkapan

“Menurut Pasal 1 Butir 20 KUHAP dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan.

4. Tertangkap Tangan

”Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudahnya beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila saat kemudian padanya ditentukan benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjuk kan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu dalam terjadinya tindak pidana itu.

5. Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim”.

Dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyebutkan sebagai berikut:

“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal”:

  1. Perbuatan pidanayang diancamdenganpidanapenjara lima tahun atau lebih;
  2. Perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 335, 351 dan sebagainya.

6. Penggeledahan

Ada dua bentuk penggeledahan yang diatur dalam KUHAP yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan.

Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-undang ini (Pasal 1 angka 17 KUHAP).

Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita (Pasal 1 angka 18 KUHAP).

7. Penyitaan Barang Bukti

Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 tentang penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.

8. Penyegelan

Penyegelan yang dimaksud disini adalah penyegelan atas barang bukti atau barang sitaan yang dilakukan oleh penyidik.Untuk penyegelan benda sitaan atau barang bukti ini harus dibuatkan berita acaranya yang memuat uraian tentang alat/pembungkusan dan penyegelannya sehingga barang atau benda sitaan tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam pembungkusnya tanpa merusak segel dan pembungkus itu sendiri.

9. Pembukuan Surat

a. Pengertian dan Fungsi Surat Dakwaan

Ketika penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan dan setiap penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan selalu disertai dengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim dipengadilan. (Pasal 140 ayat 1 KUHAP).

Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tidak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil periksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.

b. Perubahan Surat Dakwaan

Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang,baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntututannya (Pasal 144 (1) KUHAP)perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali,selambat lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.

c. Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan

Surat dakwaan dikenal dengan bentuk surat dakwaan tunggal, surat dakwaan Alternatif, Surat dakwaan Subsidier, Surat Dakwaan Komulatif dan surat dakwaan kombinasi.

  1. Surat Dakwaan Tunggal

Dalam Surat dakwaan tunggal terhadap terdakwa hanya didakwakan melakukan satu tindak pidana.

2. Surat Dakwaan Subsidier

Dalam surat dakwaan yang berbentuk subsidier didalamnya dirumuskan/disusun beberapa tindak pidana/ delik secara berlapis / bertingkat dimulai dari delik paling berat ancaman pidananya sampai delik paling ringan.

3. Surat Dakwaan Alternatif

Dalam surat dakwaan yang berbentuk alternatif, rumusan penyusunannya mirip dengan bentuk surat dakwaan subsidier yaitu didakwakan beberapa delik, tetapi sesungguhnya dakwaan yang dituju dan yang harus dibuktikan hanya satu tindak pidana/ dakwaan.

4. Surat dakwaan komulatif

Dalam surat dakwaan komulatif didakwakan secara serempak beberapa delik/ dakwaan yang masing masing delik berdiri sendiri yang dalam praktik disusun.

5. Surat dakwaan kombinasi

Dalam Surat dakwaan kombinasi didakwakan beberapa delik/dakwaan secara komulatif yang terdiri dari dakwaan subsidier dan dakwaan alternatif secara serempak sekaligus.

10. Prapenuntutan

Di dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, (tentang wewenang penuntut umum) yaitu ”Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”.

Jadi istilah prapenuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu hanyalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Isitlah prapenuntutan di dalam HIR adalah termasuk penyidikan lanjutan.

11. Penuntutan

Pengertian penuntutan sebagaimana menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, bahwa ”Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalamundang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan”.