• Law Office Ryanto Sirait & Partners
+ (6221) 478 65 971
+ (62) 813 1551 3353
08:00 - 18:00
Senin - Jumat

Kategori: Artikel

Foto : news.republika.co.id

rs-lawyer.id – Sebelum membahas unsur pengeroyokan maka terlebih dahulu dijelaskan apa defenisi dari pengeroyokan itu sendiri. Pengeroyokan merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. Tindakan “Mengeroyok” adalah suatu kejahatan yang dilakukan bersama-sama bertujuan agar orang yang dikeroyok kesakitan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang sering disebut KUHP tidak menjelaskan secara eksplisit defenisi pengeroyokan, namun sumber wikipedia menyebutkan pengeroyokan atau perundungan kelompok atau dalam bahasa inggris disebut (Mobbing) sebagai istilah sosiologis yang berarti perundungan terhadap individu oleh suatu kelompok, dalam konteks apapun.

Adapun tujuan pengeroyokan adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk menyakiti bahkan melumpuhkan orang lain dengan cara kekerasan.

Pasal 170 ayat (1) berbunyi :

“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan”.

Lalu Pasal 170 ayat (2) berbunyi :

” Yang bersalah diancam :

  1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika Ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka:
  2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
  3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

lalu pasal 170 ayat (3) berbunyi :

“Pasal 89 tidak diterapkan”.

adapun pasal 89 KUHP berbunyi :

“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Ahli hukum pidana, menguraikan bahwa makna tentang pengeroyokan, adalah adanya unsur tenaga bersama yang sifatnya massal. Dengan kata lain, satu perbuatan yang dilakukan oleh massa dalam bentuk kekerasan sehingga menimbulkan gangguan pada kertertiban umum.

Pengeroyokan adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperdulikan aturan hukum yang ada menggunakan cara kekerasan serta pelaku kekerasan tersebut lebih dari satu orang. Tindak pidana pengeroyokan biasanya dilakukan lebih dari satu orang pelaku dan sudah direncanakan menggunakan alat seperti balok, kayu atau senjata tajam lainnya.

Penggunaan kekerasan oleh seseorang atau bersama-sama terhadap orang lain, merupakan hal yang dilarang dalam hukum pidana karena penggunaan kekerasan membawa akibat berupa luka ataupun kematian.

Tindak pidana pengeroyokan dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 170 KUH Pidana terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut :

1). Unsur Subjektif :

  • Barang Siapa
  • Yang dimuka Umum.
  • Bersama-sama.
  • Melakukan Kekerasan terhadap orang atau barang.

2) Unsur Objektif :

  • Dengan sengaja

Menurut Buku KUHP pidana Karangan R. SOESILO cetakan ke enam mengemukakan yang dilarang dalam pasal 170 KUHP adalah 1:

  1. Melakukan kekerasan. kekerasan terdapat dalam pasal 89 KUHPidana yaitu yang disamakan
    melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Akan tetapi dapat pula kurang daripada itu, sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu atau rumah, atau membuang barang-barang dagangan sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud yang tentu untuk menyakiti orang atau merusak barang.
  2. Kekerasan itu harus dilakukan bersama-sama artinya oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Orang-orang yang hanya mengikuti dan tidak benarbenar turut melakukan kekerasan, tidak dapat turut dikenakan dalam pasal ini.
  3. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau barang. Hewan atau binatang masuk pula dalam pengertian barang. Pasal ini tidak membatasi, bahwa orang (badan) atau barang itu harus kepunyaan orang lain, sehingga milik sendiri masuk pula dalam pasal ini, meskipun tidak akan terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri sebagai tujuan, kalau sebagaai alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu hal, mungkin bisa juga terjadi.
  4. Kekerasan itu harus dilakukan dimuka umum karena kejahatan ini memang dimasukkan kedalam golongan kejahatan ketertiban umum. Dimuka umum artinya ditempat publik dapat melihatnya.
    1. https://repositori.uma.ac.id/bitstream/123456789/474/5/118400050_file5.pdf ↩︎

    TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI

    Sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana pada umumnya, bahwa pemeriksaan atau persidangan suatu perkara adalah ditempuh dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

    1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali perkara tertentu dinyatakan tertutup untuk umum);
    2. Jaksa Penuntut Umum diperintahkan untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan dalam keadaan bebas;
    3. Terdakwa ditanyakan identitasnya dan ditanya apakah sudah menerima salinan surat dakwaan;
    4. Terdakwa ditanya pula apakah dalam keadaan sehat dan bersedia untuk diperiksa di depan persidangan (kalau bersedia sidang dilanjutkan);
    5. Terdakwa ditanyakan apakah akan didampingi oleh Penasihat Hukum (apabila didampingi apakah akan membawa sendiri, kalau tidak membawa sendiri akan ditunjuk PH oleh Majlis Hakim dalam hal terdakwa diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih/pasal 56 KUHAP ayat (1);
    6. Dilanjutkan pembacaan surat dakwaan;
    7. Atas pembacaan surat dakwaan tadi terdakwa (PH) ditanya akan mengajukan eksepsi atau tidak;
    8. Dalam terdakwa/PH mengajukan eksepsi maka diberi kesempatan dan sidang ditunda;
    9. Apabila ada eksepsi dilanjutkan tanggapan JPU atas eksepsi (replik);
    10. Selanjutnya dibacakan putusan sela oleh Majlis Hakim;
    11. Apabila eksepsi ditolak dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara (pembuktian);
    12. Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh PU (dimulai dari saksi korban);
    13. Dilanjutkan saksi lainnya;
    14. Apabila ada saksi yang meringankan diperiksa pula, saksi ahli Witness/expert);
    15. Pemeriksaan terhadap terdakwa;
    16. Tuntutan (requisitoir);
    17. Pembelaan dari Terdakwa atau Penasihat Hukum (pledoi);
    18. Replik dari jaksa Penuntut Umum;
    19. Duplik dari dari Terdakwa atau Penasihat Hukum;
    20. Putusan oleh Majelis Hakim.

    TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA GUGATAN DI PENGADILAN NEGERI

    Sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata pada umumnya, bahwa pemeriksaan atau persidangan suatu perkara adalah ditempuh dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

    1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum;
    2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang;
    3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat ijin praktik dari organisasi advokat;
    4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan dengan perkara secara damai;
    5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008);
    6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya;
    7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YME;
    8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat; (jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi);
    9. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat rekonvensi;
    10. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai tergugat rekonvensi;
    11. Pada saat surat menyurat (jawab menjawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
    12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi);
    13. Pembuktian.
    14. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
    15. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
    16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;
    17. Kesimpulan dari Penggugat dan Tergugat;
    18. Musyawarah oleh Majelis Hakim (bersifat rahasia);
    19. Pembacaan Putusan;
    20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak dapat diterima;
    21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari;
    22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.

    Sumber : https://pn-karanganyar.go.id/

    I. Putusan Sela dalam Perkara Perdata

    Putusan adalah: suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga peryataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.

    Ada dua golongan putusan dalam perkara perdata, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela adalah putusan yang diadakan sebelum hakim memutus perkaranya, yaitu yang memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Jadi putusan sela ini diambil oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusan akhir.

    Mengenai putusan sela disinggung dalam Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 48 Rv. Menurut pasal tesebut, “hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir (eind vonnis), yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan beriangsung”. Namun putusan itu tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai pokok perkara. Putusan tersebut adalah, putusan preparatoir, putusan interlocutoir, putusan insidentil dan putusan prvisionil.

    Putusan Sela atau putusan antara, gunanya untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela adalah suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir yang berisikan beban pembuktian antara tergugat dan penggugat, fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara.

    Putusan sela ini menurut Pasal 185 HIR/196 RBg adalah:

    1. Putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah melainkan hanya tertulis dalam berita acara persidangan saja.
    2. Kedua belah pihak dapat meminta, supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan ongkos sendiri.

    Jenis-jenis Putusan Sela:

    1. Putusan Preparatoir

    Putusan preparatoir (preparatoir vonnis) merupakan salah satu bentuk spesifikasi yang terkandung dalam putusan sela. Tujuan putusan ini merupakan persiapan jalannya pemeriksaan. Misalnya sebelum hakim memulai pemeriksaan, lebih dahulu menerbitkan putusan perparatoir tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan.

    2. Putusan Interlocutoir

    Putusan Interlocutoir adalah putusan sela yang berisi perintah untuk mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap bukti-bukti yang ada pada para pihak yang sedang berperkara dan para saksi yang dipergunakan untuk menentukan putusan akhir.

    Menurut R. Soepomo, seringkali Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan interlocutoir saat proses pemeriksaan tengah beriangsung. Putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela (een interlocutoir vonnis is een special sort tussen vonnis) yang dapat berisi bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, antara lain sebagai berikut:

    a. Putusan interlokutor yang memerintahkan pendengaran keterangan ahli, berdasarkan Pasal 154 HIR Apabila hakim secara ex officio maupun atas perintah salah satu pihak, menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang kompeten menjelaskan hal yang belum terang tentang masalah yang disengketakan, hal itu dituangkan dalam putusan sela yang disebut putusan interlokutor.

    b. Memerintahkan pemeriksaan setempat (gerechtelijke plaatssopmening) berdasarkan Pasal 153 HIR Jika hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu dilakukan pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlokutor yang berisi perintah kepada hakim komisaris dan panitera untuk melaksanakannya.

    c. Memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah penentu atau tambahkan brdasarkan Pasal 155 HIR, Pasal 1929 KUHPerdata maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlokutor.

    d. Bisa juga memerintahkan pemanggilan saksi berdasarkan Pasal 139 HIR, yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat tetapi tidak dapat menghadirkannya berdasarkan Pasal 121 HIR, pihak yang berkepentingan dapat meminta kepda hakim supaya saksi tersebut dipanggil secara resmi oleh juru sita. Apabila permintaan ini dikabulkan, hakim menerbitkan surat perintah untuk itu yang dituangkan dalam bentuk putusan interlokutor.

    e. Putusan interlokutor dapat juga diterbitkan hakim untuk memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang terlibat dalam suatu sengketa oleh akuntan publik yang independent.

    3. Putusan Insidentil

    Putusan Insidentil (incidenteel vonnis) merupakan putusan sela yang berkaitan langsung dengan gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang dibebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita agar sita dilaksanakan yang disebut cautio judicatum solvi.

    4. Putusan Provisi

    Diatur dalam Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg disebut juga provisionele heschikking, yakni putusan yang bersfat sementara atau interim award (temporary disposal) yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Dengan demikian putusan provisi ini tidak boleh mengenai materi pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan sementara berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan, misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah yang menjadi obyek perkara dengan ancaman hukuman membayar uang paksa.

    Fungsi putusan sela dalam proses pemeriksaan perkara perdata adalah untuk memungkinkan dan mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara seterusnya. Dan Perkara perdata yang dapat dimintakan putusan sela adalah hanya terhadap perkara perdata yang memerlukan untuk pemeriksaan ditempat, putusan pemisahan beberapa gugatan, putusan provisi dan putusan untuk membuktikan dengan pemeriksaan saksi.

    II. Putusan Sela dalam Perkara Pidana

    Dalam persidangan perkara pidana untuk kesempatan pertama Jaksa Penuntut Umum akan membacakan surat Dakwaan. Selanjutnya terhadap Surat Dakwaan ini, Terdakwa atau Penasihat Hukum terdakwa akan menjawab surat Dakwaan dan ini disebut dengan Eksepsi/Tangkisan (plead). Tentang bentuk putusan hakim terhadap eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya yang berupa ‘Putusan’, dapat “putusan bukan putusan akhir (Putusan Sela)” dan “putusan akhir (final)”, tergantung alasan keberatan yang disampaikan oleh Terdakwa.  

    Biasanya sebelum ‘putusan sela’ dijatuhkan oleh hakim, proses diawali dengan pengajuan eksepsi atau keberatan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya. Bisa juga pengajuan eksepsi berbarengan setelah penuntut umum selesai membacakan dakwaan dan hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya untuk mengajukan eksepsi atau keberatan. Selanjutnya hakim memberikan hak/kesempatan kepada penuntut umum untuk menanggapi (menyatakan pendapat) tentang eksepsi yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, dan ini sudah bersifat final karena undang-undang tidak membuka kesempatan untuk ditanggapi lagi.

    Apabila hakim “menerima eksepsi atau keberatan” yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, maka pemeriksaan perkara ‘tidak dilanjutkan (dihentikan)’. Penghentian atau tidak melanjutkan pemeriksaan ini adalah bersifat ‘permanen’, jika Penuntut Umum tidak mengajukan perlawanan ke Pengadilan tinggi. Apabila hakim “menolak eksepsi atau keberatan” dari terdakwa atau penasehat hukumnya, berarti Pengadilan Negeri yang bersangkutan berwenang untuk mengadilinya. Pemeriksaan perkara ‘harus’ dilanjutkan, tidak boleh dihentikan.

    Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Eksepsi penasihat hukum inilah yang memegang peranan penting dalam dijatuhkannya putusan sela oleh hakim. Kedudukan putusan sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.

    Putusan sela diatur sebagaimana dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan pelaksanaannya juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan sela merupakan salah satu alat kontrol terhadap kinerja Jaksa / Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan datau dalam melakukan suatu penyidikan.

    Bentuk putusan hakim atas eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya adalah sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yaitu berupa ‘penetapan’ dan ‘putusan’ yang dapat berbentuk putusan sela dan putusan akhir dan upaya hukum terhadap putusan hakim atas eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya dan oleh penuntut umum adalah berupa perlawanan yang diatur dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, Pasal 149 ayat (2) KUHAP, Pasal 156 ayat (3) KUHAP dan Pasal 214 ayat (4) KUHAP, dan bersama-sama permintaan banding yang diatur dalam Pasal 156 ayat (5) huruf a KUHAP.

    Putusan sela dalam Perkara Pidana dapat disimpulkan dari Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang menentukan: “Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

    Pasal 156 ayat (2), berbunyi : Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

    Adapun putusan sela dalam perkara pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat berupa:

    1. Surat dakwaan batal demi hukum, karena surat dakwaan tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
    2. Bahwa dalam perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, maka surat pelimpahan perkara akan di kembalikan kepada jaksa penuntut umum, untuk selanjutnya kejasaan negeri yang bersangkutan akan menyampaikan kepada kejaksaan negeri yang tercantum dalam penetapan hakim ( Pasal 148 KUHAP).
    3. Surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, karena  surat dakwaan tersebut sudah lewat waktu (daluarsa), pemeriksaan untuk perkara yang sama sudah pernah dilakukan (nebis in idem), dan perkara memerlukan syarat aduan.

    Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

    Hukum pidana dibagi menjadi dua yaitu:

    Hukum pidana materiil, yaitu kumpulan aturan yang berisi tentang perbuatan apa saja yang dapat dihukum (KUHP).

    Hukum pidana formil, yaitu kumpulan peraturan yang berisi tata cara bagaimana menghukum perbuatan yang dapat dihukum tadi (KUHAP).

    Menurut Prof. Moeljatno, SH, Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang memberi dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.

    Menurut Simons, Hukum Acara Pidana di sebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana Negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk memidanankan dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.

    Tujuan Hukum Acara Pidana

    Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.

    Van Bemellen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu :

    1. Mencari dan menemukan kebenaran;
    2. Pemberian keputusan oleh hakim;
    3. Pelaksanaan keputusan.

    Menurut Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung, hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana dan merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badanbadan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.

    Menurut Eddy O.S. Hiariej, hakikatnya hukum acara pidana memuat kaidah-kaidah yang mengatur tentang penerapan atau tata cara antara lain: penyelidikan, penyidikan, penuntutan pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan putusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan, maka, pengertian hukum acara pidana dapat dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kaidah dalam beracara diseluruh proses peradilan pidana, sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan didepan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materil.

    Asas-asas Hukum Acara Pidana

    1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
    2. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)
    3. Asas Oportunitas
    4. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
    5. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama Di Depan hakim
    6. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya Tetap
    7. Asas Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
    8. Asas Akusator dan Inkisator
    9. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan dengan Lisan

    Pihak-Pihak yang terkait dalam hukum acara pidana

    1. Penyidik/Penyelidik
    2. Penuntut Umum
    3. Hakim
    4. Tersangka/Terdakwa/Terpidana
    5. Penasihat Hukum

    Rangkaian proses hukum acara pidana

    1. Penyelidikan

    “Serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. ketentuan umum KUHAP Pasal 1 butir 5.

    2. Penyidikan

    “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”.

    3. Penangkapan

    “Menurut Pasal 1 Butir 20 KUHAP dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan.

    4. Tertangkap Tangan

    ”Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudahnya beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila saat kemudian padanya ditentukan benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjuk kan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu dalam terjadinya tindak pidana itu.

    5. Penahanan

    Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim”.

    Dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyebutkan sebagai berikut:

    “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal”:

    1. Perbuatan pidanayang diancamdenganpidanapenjara lima tahun atau lebih;
    2. Perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 335, 351 dan sebagainya.

    6. Penggeledahan

    Ada dua bentuk penggeledahan yang diatur dalam KUHAP yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan.

    Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-undang ini (Pasal 1 angka 17 KUHAP).

    Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita (Pasal 1 angka 18 KUHAP).

    7. Penyitaan Barang Bukti

    Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 tentang penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.

    8. Penyegelan

    Penyegelan yang dimaksud disini adalah penyegelan atas barang bukti atau barang sitaan yang dilakukan oleh penyidik.Untuk penyegelan benda sitaan atau barang bukti ini harus dibuatkan berita acaranya yang memuat uraian tentang alat/pembungkusan dan penyegelannya sehingga barang atau benda sitaan tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam pembungkusnya tanpa merusak segel dan pembungkus itu sendiri.

    9. Pembukuan Surat

    a. Pengertian dan Fungsi Surat Dakwaan

    Ketika penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan dan setiap penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan selalu disertai dengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim dipengadilan. (Pasal 140 ayat 1 KUHAP).

    Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tidak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil periksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.

    b. Perubahan Surat Dakwaan

    Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang,baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntututannya (Pasal 144 (1) KUHAP)perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali,selambat lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.

    c. Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan

    Surat dakwaan dikenal dengan bentuk surat dakwaan tunggal, surat dakwaan Alternatif, Surat dakwaan Subsidier, Surat Dakwaan Komulatif dan surat dakwaan kombinasi.

    1. Surat Dakwaan Tunggal

    Dalam Surat dakwaan tunggal terhadap terdakwa hanya didakwakan melakukan satu tindak pidana.

    2. Surat Dakwaan Subsidier

    Dalam surat dakwaan yang berbentuk subsidier didalamnya dirumuskan/disusun beberapa tindak pidana/ delik secara berlapis / bertingkat dimulai dari delik paling berat ancaman pidananya sampai delik paling ringan.

    3. Surat Dakwaan Alternatif

    Dalam surat dakwaan yang berbentuk alternatif, rumusan penyusunannya mirip dengan bentuk surat dakwaan subsidier yaitu didakwakan beberapa delik, tetapi sesungguhnya dakwaan yang dituju dan yang harus dibuktikan hanya satu tindak pidana/ dakwaan.

    4. Surat dakwaan komulatif

    Dalam surat dakwaan komulatif didakwakan secara serempak beberapa delik/ dakwaan yang masing masing delik berdiri sendiri yang dalam praktik disusun.

    5. Surat dakwaan kombinasi

    Dalam Surat dakwaan kombinasi didakwakan beberapa delik/dakwaan secara komulatif yang terdiri dari dakwaan subsidier dan dakwaan alternatif secara serempak sekaligus.

    10. Prapenuntutan

    Di dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, (tentang wewenang penuntut umum) yaitu ”Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”.

    Jadi istilah prapenuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu hanyalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Isitlah prapenuntutan di dalam HIR adalah termasuk penyidikan lanjutan.

    11. Penuntutan

    Pengertian penuntutan sebagaimana menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, bahwa ”Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalamundang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan”.

    Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1 Prof. Moeljatno, SH dalam bukunya Asas-asas hukum pidana edisi revisi

    1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar aturan tersebut.
    2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
    3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.

    Asas Hukum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege

    Asas tersebut diatas diartikan tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu). Asas hukum pidana yang sangat mendasar adalah Asas Legalitas (Principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undang.

    Asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:

    1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
    2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias)
    3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

    Asas Legalitas telah tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan seseorang harus diadili menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan (Lex termporis delicti).

    Namun Lex termporis delicti diadakan pembatasan, yaitu tidak tidak dapat diberlakukan jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan dan sebelum perkara diadili. Sehingga dalam hal perkara demikian, yang dipakai untuk mengadili ialah aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Pasal 1 ayat (2) KUHP menentukan: “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya (terdakwa).

    Batas-Batas Berlakunya Perundang-Undangan Hukum Pidana Menurut Tempat terjadinya Perbuatan

    Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan.

    Terdapat dua asas pemberlakuan perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan:

    1. Asas Teritorial : Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing.
    2. Asas Personal : Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana saja, juga diluar wilayah negara. Juga dinamakan prinsip nasional yang aktif.

    Dari kedua asas diatas, asas Teritorial adalah suatu asas yang lazim dipakai oleh banyak negara, dan termasuk Indonesia menggunakan Asas Teritorial. Dengan menggunakan asas ini maka tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara harus tunduk kepada peraturan-peraturan negara.

    Pasal 2 KUHP : Ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam wilayah indonesia bersalah melakukan perbuatan pidana.

    Istilah Perbuatan Pidana

    Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. (*RS)

    rS-lAWYER.ID, JAKARTA – Tim Pengacara dari Kantor Hukum Ryanto Sirait & Partners (RSP) melayangkan gugatan terhadap PT. Lordin Indo Perkasa dan PT. Pembangunan Perumahan, Persero (Tbk) ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat terkait dengan tindakan wanprestasi pembayaran biaya supplier tanah untuk kebutuhan Proyek pembangunan Tol simpang susun Serang Banten.

    Dalam surat gugatan dengan register No. Perkara : 74/Pdt.G/2022/PN Jkt.Brt menggugat PT. Lordin Indo Perkasa sebagai Tergugat dan PT. Pembangunan Perumahan, persero (Tbk) sebagai Turut Tergugat. Terhadap perkara ini Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah menggelar sidang perdana, Rabu (9/03/2022).

    Pada sidang perdana Tim Pengacara dari RSP Law Office selaku kuasa hukum dari PT. Multisarana Mitra Lestari (MML) selaku Penggugat menghadiri sidang begitu pula Kuasa dari PT. Pembangunan Perumahan, Persero (Tbk) selaku pihak Turut Tergugat sedangkan pihak Tergugat dalam hal ini PT. Lordin Indo Perkasa tidak menghadiri sidang.

    Adapun agenda acara sidang perdana ini cukup singkat karena hanya memeriksa legal standing (dokumen administrasi) para pihak, baik penggugat dan tergugat/turut tergugat. Dikarenakan pihak Tergugat tidak menghadiri sidang, majelis menunda sidang dan agenda sidang lanjutan akan digelar pada hari Rabu, (16/3/2022).

    Tim Pengacara dari RSP Law Office menyambut baik kehadiran kuasa dari Turut Tergugat yaitu PT. Pembangunan Perumahan, Persero (Tbk), namun sebaliknya menyesalkan pihak dari Tergugat yang tidak menghadiri sidang perdana ini. 

    “Kami dari tim hukum penggugat menyambut baik kehadiran kuasa dari Turut Tergugat pada sidang perdana ini, namun sebaliknya menyesalkan ketidakhadiran dari Pihak Tergugat yaitu PT. Lordin Indo Perkasa. Sejauh ini kami belum mendapatkan informasi penyebab ketidakhadiran dari Tergugat, karena pada saat sidang tadi majelis hanya menyampaikan bahwa Tergugat tidak hadir. Kita lihat saja nanti pada sidang berikutnya semoga tergugat dapat hadir,” ujar tim pengacara kepada penulis. 

    Sebagaimana dibeberkan tim pengacara RSP Law Office, PT. Multisarana Mitra Lestari (MML) perusahaan supplier tanah merah super yang mensuplai tanah merah super untuk kebutuhan proyek pembangunan jalan tol simpang susun serang banten yang dikerjakan oleh PT. Pembangunan Perumahan, Persero (Tbk) melayangkan gugatan wanprestasi / tagihan macet terhadap PT. Lordin Indo Perkasa sub-kontraktor dari PT. Pembangunan Perumahan, Persero (Tbk).

    Masih menurut tim Pengacara dari RSP Law Office, alasan PT. MML menggugat Tergugat dan Turut Tergugat karena sangat dirugikan atas  tindakan wanprestasi (tagihan macet) yang dilakukan oleh Tergugat dan Turut Tergugat.

    PT. MML mengalami kerugian karenaTergugat tak kunjung membayarkan tagihan atas supplai tanah merah super ke proyek Turut Tergugat yang mencapai besaran hingga Rp. 2.859.000.000,- (dua milliar delapan ratus lima puluh sembilan juta rupiah) yang bertahun-tahun menunggak. Sebagaimana keterangan dan bukti-bukti yang disampaikan PT.MML, tergugat beralasan jika macetnya pembayaran kepada penggugat dikarenakan tergugat belum mendapat pembayaran dari turut tergugat. 

    “Ini adalah gugatan Wanprestasi. Tergugat memiliki kewajiban pembayaran tagihan kepada klien kami tapi hingga bertahun-tahun tergugat tidak kunjung membayar dengan alasan belum menerima pembayaran dari turut tergugat. Tagihan pokoknya 2,8 miliaran lah, kronologis lengkapnya nanti akan terungkap di persidangan, ujar salah satu Tim Hukum Penggugat.

    “Pada prinsipnya sebelum gugatan ini dilayangkan, klien kami telah berupaya meminta penyelesaian kepada Tergugat di luar Pengadilan, tapi tampaknya tergugat tidak memiliki itikad baik untuk membayar. Jangankan untuk membayar, tergugat saja menghilang begitu saja, bahkan saat klien kami mencoba mendatangi kantor tergugat, kantornya sudah tidak ada, karena rupanya perusahaan tergugat hanya berkantor di Virtual Office, dan ini juga kita merasa heran melihatnya, perusahaan BUMN sekelas PP (PT. Pembangunan Perumahan, Persero, Tbk) kok bisa menunjuk PT. Lordin Indo Perkasa yang hanya beralamat di Virtual Office menjadi Sub-Kontraktornya PP. Ya beginilah jadinya”, terang Tim Pengacara RSP Law Office selaku kuasa Penggugat. *MG


    Fungsi Kepolisian

    Pasal 2 dalam UU ini disebutkan Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

    Tugas dan Wewenang
    Pasal 13
    Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
    a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
    b. menegakkan hukum; dan
    c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

    Pasal 15
    (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
    a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
    b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
    c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
    d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
    e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
    f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
    g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
    h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
    i. mencari keterangan dan barang bukti;
    j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
    k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
    l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

    m.menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

    (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang :
    a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
    b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
    c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
    d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
    e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
    f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
    g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
    h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
    i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
    j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
    k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

    Pasal 16
    (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
    a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
    b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
    c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
    d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
    e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

    f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
    h. mengadakan penghentian penyidikan;
    i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
    j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
    k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
    l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 44

    Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3710) dinyatakan tidak berlaku.

    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, pada 8 Januari 2002.

    Ketentuan lengkap pasal demi pasal dapat dilihat dalam salinan UU No.2 Tahun 2002, silahkan Download pada link aktif berikut ini. DOWNLOAD


    Dalam ketentuan umum Peraturan Kapolri (Perkap) No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana memberikan defenisi dalam rangka penyidikan tindak pidana sebagai berikut:

    • Tindak Pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum berupa kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan hukuman pidana penjara, kurungan atau denda.
    • Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
    • Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah didukung barang bukti patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
    • Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri termasuk yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
    • Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana.
    • Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
    • Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
    • Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum yang berlaku terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya.
    • Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang selanjutnya disingkat SPDP adalah surat pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri.
    • Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan yang selanjutnya disingkat SP2HP adalah surat pemberitahuan terhadap pelapor/pengadu tentang hasil perkembangan penyidikan.
    • Barang Bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh Penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
    • Laporan Hasil Penyelidikan adalah Laporan tertulis yang dibuat oleh Penyelidik yang berisi tentang hasil penyelidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga tindak pidana.
    • Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan berdasarkan surat perintah dari atasan Penyidik yang berwenang terhadap Penyidik atau Penyidik Pembantu yang diduga telah melakukan pelanggaran proses penyelidikan dan/atau penyidikan.
    • Gelar Perkara adalah kegiatan penyampaian penjelasan tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh Penyidik kepada peserta gelar dan dilanjutkan diskusi kelompok untuk mendapatkan tanggapan/masukan/koreksi guna menghasilkan rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan.
    • Keadilan restoratif adalah penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak.

    Ketentuan Pasal 3 ayat (3) laporan polisi :

    (3) Pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditugasi untuk:

    a. menjamin kelancaran dan kecepatan pembuatan laporan polisi;

    b. melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi; dan

    c. memberikan pelayanan yang optimal bagi warga masyarakat yang melaporkan atau mengadu kepada Polri.

    Ketentuan Pasal 3 ayat (5) :

    (5) Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, terdiri atas:

    a. laporan polisi model A, yaitu laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi; dan

    b. laporan polisi model B, yaitu laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan yang diterima dari masyarakat.

    Penyelidikan :

    Pasal 6
    (1) Kegiatan penyelidikan dilakukan dengan cara:
    a. pengolahan TKP;
    b. pengamatan (observasi);
    c. wawancara (interview);
    d. pembuntutan (surveillance);
    e. penyamaran (under cover);
    f. pelacakan (tracking); dan/atau
    g. penelitian dan analisis dokumen.

    (2) Sasaran penyelidikan meliputi:
    a. orang;
    b. benda atau barang;
    c. tempat;
    d. peristiwa/kejadian; dan/atau
    e. kegiatan

    Gelar Perkara Hasil Penyelidikan :

    Pasal 9

    (1) Hasil Penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik, wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga:

    a. tindak pidana; atau

    b. bukan tindak pidana.

    (2) Hasil gelar perkara yang memutuskan:

    a. merupakan tindak pidana, dilanjutkan ke tahap penyidikan;

    b. bukan merupakan tindak pidana, dilakukan penghentian penyelidikan; dan

    c. perkara tindak pidana bukan kewenangan Penyidik Polri, laporan dilimpahkan ke instansi yang berwenang.

    (3) Dalam hal atasan Penyidik menerima keberatan dari pelapor atas penghentian penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan gelar perkara untuk menentukan kegiatan penyelidikan dapat atau tidaknya ditingkatkan ke tahap penyidikan.

    Kegiatan Penyidikan

    Pasal 10

    (1) Kegiatan penyidikan tindak pidana terdiri atas:

    a. penyelidikan;

    b. dimulainya penyidikan;

    c. upaya paksa;

    d. pemeriksaan;

    e. penetapan tersangka;

    f. pemberkasan;

    g. penyerahan berkas perkara;

    h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan

    i. penghentian penyidikan.

    (2) Dalam hal penyidikan tindak pidana ringan dan pelanggaran, kegiatan penyidikan, terdiri atas:

    a. pemeriksaan;

    b. memberitahukan kepada terdakwa secara tertulis tentang hari, tanggal, jam dan tempat sidang;

    c. menyerahkan berkas ke pengadilan; dan

    d. menghadapkan terdakwa berserta barang bukti ke sidang pengadilan

    SP2HP

    Pasal 10 ayat (5) :

    Setiap perkembangan penanganan perkara pada Kegiatan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diterbitkan SP2HP.

    Pasal 11, kegiatan penyidikan tindak pidana dilakukan penyelidikan apabila:

    a. belum ditemukan tersangka dan/atau barang bukti;
    b. pengembangan perkara; dan/atau
    c. belum terpenuhi alat bukti

    Untuk ketentuan pasal-pasal lain dalam Peraturan Kapolri ini, dapat dilihat secara lengkap dengan mendowload link peraturan kapolri ini – DOWNLOAD

    Peraturan Kapolri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, pada 4 Oktober 2019

    Dengan berlakunya Peraturan Kapolri ini, maka Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dinyatakan tidak berlaku dan dicabut melalui Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. DOWNLOAD PERATURAN PENCABUTAN PERKAP 14 Tahun 2012


    JAKARTA – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan keputusan terkait dengan 1.062 Polsek di seluruh Indonesia tidak bisa melakukan proses penyidikan.

    Kebijakan itu berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Nomor: Kep/613/III/2021 tentang Penunjukan Kepolisian Sektor Hanya Untuk Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Pada Daerah Tertentu (Tidak Melakukan Penyidikan), per tanggal 23 Maret 2021 yang ditandatangani langsung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

    Dalam keputusan tersebut, Kapolri memperhatikan soal program prioritas Comamnder Wish pada 28 Januari 2021 lalu.

    Hal ini juga merupakan program prioritas di bidang transformasi, program penataan kelembagaan, kegiatan penguatan Polsek dan Polres sebagai lini terdepan pelayanan Polri dengan rencana aksi mengubah kewenangan Polsek hanya untuk pemeliharaan Kamtibmas pada daerah tertentu tidak melakukan penyidikan.

    “Polsek yang tidak melakukan penyidikan dalam hal kewenangan dan pelaksanaan tugasnya memedomani Surat Kapolri Nomor: B/1092/II/REN.1.3./2021 tanggal 17 Februari 2021 perihal direktif Kapolri tentang kewenangan Polsek tertentu,” tulis Sigit dalam surat keputusan itu.

    Keputusan itu berdasarkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

    Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagaimana telah Diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Link artikel asli :

    Kapolri Tetapkan 1.062 Polsek Tidak Lakukan Proses Penyidikan – DIVISI HUMAS POLRI

    Pemerintah telah menerbitkan 49 peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang terdiri dari  45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres). Peraturan pelaksana tersebut juga telah diundangkan ke dalam Lembaran Negara RI.

    Semua peraturan tersebut dapat diakses pada laman link download dibawah ini.

    45 (empat puluh lima) Peraturan Pemerintah : Dowload disini !

    1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakukan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    10. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    11. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    12. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    13. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    14. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan,Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    15. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    16. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    17. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    18. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
    19. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan;
    20. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    21. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    22. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    23. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    24. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    25. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    26. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    27. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran;
    28. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    29. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perkeretaapian, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    30. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    31. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja;
    32. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan;
    33. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan;
    34. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2021 tentang Rekening Penampungan Biaya Perjalanan Ibadah Umrah, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    35. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    36. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    37. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    38. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    39. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    40. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    41. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Informasi Geospasial, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    42. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran;
    43. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    44. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021; dan
    45. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi yang Melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau Entitas yang Dimilikinya, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021.

    4 (empat ) Peraturan Presiden : Download disini !

    1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2021 tentang Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    2. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021;
    3. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kerja Sama Antara Pemerintah Pusat dengan Badan Usaha Milik Negara dalam Penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021; dan
    4. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, ditetapkan tanggal 2 Februari 2021.

    Sumber :

    Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Sekretariat Kabinet jdih.setkab.go.id.