• Law Office Ryanto Sirait & Partners
+ (6221) 478 65 971
+ (62) 813 1551 3353
08:00 - 18:00
Senin - Jumat

Kategori: Artikel

Terdapat beberapa defenisi yang dijelaskan dalam ketentuan umum Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja  Pasal 1 disebutkan bahwa  yang dimaksud dengan :

  1. Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
  2. Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
  3. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  4. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan atau kegiatan pada bidang tertentu.
  5. Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha danf atau kegiatan pada bidang tertentu.

Tujuan dibentuknya undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 ini adalah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk :

  1. Menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMK-M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional;
  2. Menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
  3. Melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta industri nasional; dan
  4. Melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.

Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dalam pasal 4 diatur ruang lingkup kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi :

  1. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
  2. ketenagakerjaan;
  3. kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M;
  4. kemudahan berusaha;
  5. dukungan riset dan inovasi;
  6. pengadaan tanah;
  7. kawasan ekonomi;
  8. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
  9. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
  10. pengenaan sanksi.

Dan selanjutnya dalam pasal 5, Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini meliputi bidang hukum yang akan diatur dalam undang-undang terkait.

Dalam Ketentuan Penutup Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 huruf a paling lama 3 (tiga) bulan sejak UU No. 11  diberlakukan pemerintah harus membuat Peraturan Pelaksanaan UU ini, dan  huruf b Semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah diubah oleh Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang ini dan wajib disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan.

Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mulai berlaku pada tanggal diundangkan pada tanggal 2 November 2020, pasal 186.

Download Undang-Undang No.20 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( Omnibus Law Ciptaker disini.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adagium/ada·gi·um/ n adalah pepatah; peribahasa. Yang dimaksud dengan adagium adalah kata yang memiliki arti. Adagium biasanya ada dalam kamus atau glossary berikut ini untuk penjelasan apa arti makna dan maksudnya.

Linguistik = adagium : Pepatah atau peribahasa

Sastra = adagium : Ungkapan tradisional yang diterima sebagai suatu kebenaran. Contoh “orang sabar kekasih Allah”. Adagium ada hubungannya dengan istilah lain yang menyatakan suatu kebenaran umum seperti aforisme, maksim, pepatah dan peribahasa. Di dalam teks-teks sastra, khususnya fiksi dan drama, adagium sering ditemukan dalam dialog para tokohnya.

Adagium artinya pepatah atau peribahasa, yang umumnya berbahasa latin dan Bahasa Inggris. Kata-kata ini sudah lama diucapkan, namun oleh orang-orang bijak, dan sampai saat ini adagium-adagium ini sering digunakan dan menjadi salah satu acuan dalam membuat peraturan. 


  1. Ubi Societas ibi Justicia arrtinya : dimana ada masyarakat dan kehidupan, disana ada hukum (keadilan).
  2. Fiat justicia ruat caelum artinya : Keadilan harus ditegakkan, meskipun langkit akan runtuh. “Sebagai tambahan, ungkapan ini diucapakan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
  3. Justitiae non est neganda, non differenda artinya : Keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda.
  4. Lex posterior derogat priori artinya : Undang-undang yang baru menghapus Undang-undang yang lama.
  5. Unus Testis Nullus Testis artinya : Satu orang saksi bukanlah saksi. “Sebagai tambahan, hal ini terdapat juga dalam pasal 185 ayat (2) KUHAP”.
  6. Vox Populi Vox Dei artinya : Suara rakyat adalah suara Tuhan.
  7. Salus Populi Suprema Lex artinya : Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi pada suatu negara.
  8. Lex Specialis derogat legi Generalis artinya : Aturan hukum khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum.
  9. Facinus quos Inquinat Aequa artinya : Kesalahan selalu melekat pada orang yang berbuat salah.
  10. In Du bio pro reo artinya : Jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, hakim harus menjatuhkan hukuman yang meringankan terdakwa.
  11. Facta sunt potentiora verbis artinya : Perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata.
  12. Ignorantia excusatur non juris sed facti artinya : Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tetapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum.
  13. Judex set lex laguens artinya : Sang Hakim adalah hukum yang berbicara.
  14. Judicia poxteriora sunt in lege fortiora artinya : Keputusan terakhir ialah yang terkuat di mata hukum.
  15. Lex prospcit, non respicit artinya : Hukum melihat ke depan, bukan kebelakang.
  16. Lex semper dabit remedium artinya : Hukum selalu memberi obat.
  17. Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam artinya : Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.
  18. Index animi sermo artinya : Cara seseorang berbicara menunjukkan jalan pikirannya.
  19. Absolute sentienfia expositore non indiget artinya : Sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
  20. Culpue poena par esto artinya : Jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan.
  21. Filius in utero matris est pars viscerum matrix artinya : Seorang anak di dalam kandungan adalah bagian dari kehidupan ibunya.
  22. Cogitationis poenam nemo patitur artinya : Seseorang tidak dapat dijukum karena apa yang dipikirkannya.
  23. Juru suo uti nemo cogitur artinya : Tidak seorangpn diwajibkan menggunakan haknya.
  24. Qui tacet consentire videtur artinya : Siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui.
  25. Moneat lex, priusquam feriat artinya : Undang-undag harus memberi peringatan dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.
  26. Ius curia novit artinya : Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya.
  27. Equum et bonum est lex legum artinya : Apa yang aduk dan baik adalah hukumnya hukum.
  28. Droil ne done, pluis que soit demaunde artinya : Hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan.
  29. Domiunt aliquando leges, nunquam moriuntur artinya : Hukum terkadang tidur, tapi hukum tidak pernah mati.
  30. Lex dura sed ita scripta artinya : Undang-undang itu keras, tetapi ia telah ditulis demikian.
  31. Audi et alteram partematau audiatur et altera pars artinya : Para pihak harus didengar, apabila persidangan sudah dimulai, hakim haus mendengar dari kedua belah pihak yang bersengketa, tidak dari satu pihak saja.
  32. Testimonium de auditu artinya : Kesaksian yang didengar dari orang lain.
  33. Ne bis in idem artinya : Perkara yang sama tidak boleh disidangkan untuk kedua kalinya. “Sebagai tambahan, hal ini juga tercantum dalam pasal 76 KUHP.
  34. Similia similibus artinya : Dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula.
  35. Interset reipublicae res judicatoas non rescindi artinya : Adalah kepentingan negara bahwa suatu keputusan tidak dapat diganggu-gugat.
  36. Koop breekt geen huur artinya : Jual-beli tidak memutuskan sewa-menyewa. “Tambahan, dengan dijualnya barang yang disewa, sewa sebelumnya tidak dihapuskan, hal ini tercantum dalam Pasal 1576 KUHPerdata.
  37. Cum aliquis renunciaverit sociatati, solvitur societas artinya : Saat rekan meninggalkan persekutuannya, maka persekutuan tersebut dinyatakan bubar.
  38. Ignorantia judicis est calanaitax innocentis artinya : Ketidaktahuan hakim adalah suatu kerugian bagi pihak yang tidak bersalah.
  39. Veiligdheid clausule artinya : Apabila dikemudian hari ditemukan kesalahan dalam keputusan, akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
  40. Juramentum est indivisinle, et non est admittendum in partly true and partly falsum, artinya : Sebuah sumpah tidak dapat dibagi, sumpah tersebut tidak dapat diterima jika sebagiannya benar dan sebagiannya lagi salah.
  41. Lex superior derogat legi inferiori, artinya : Aturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah tingkatannya.
  42. Lex Nemini Operatur Iniquum, Neminin Facit Injuriam, artinya : Hukum Tidak Memberikan Ketidakadilan Kepada Siapapun Dan Tidak Melakukan Kesalahan Kepada Siapapun.

  1. Pacta sund servanda artinya : Setiap perjanjian itu mengingat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik pula.
  2. Res nullius credit occupanti artinya : Benda yang ditelantarkan oleh pemiliknya bisa diambil untuk dimiliki.
  3. Judex non putest esse testis in propria cause artinya : Seorang hakim tidak dapat menjadi seorang saksi dalam perkaranya sendiri.
  4. Nemo judex in causa sua artinya : Hakim tidak boleh mengadili dirinya sendiri.
  5. De gustibus non est disputandum artinya : Mengenai selera tidak dapat disengketakan.
  6. Lex neminem cigit ad impossibilta artinya : Undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mustahil.
  7. Van rechtswege nieting, null and void artinya : Suatu proses peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum.
  8. Politiae legius non leges politii adoptandae artinya : Politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
  9. Het Vermoeden van rechmatigheid artinya : Kebijakan pemerintah harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya.
  10. Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet artinya : Tidak seorangpun dapat mengalihkan haknya lebih banyak daripada yang ia miliki.
  11. Heares est cadem persona cum antecessore artinya : Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya.
  12. Cujus est dominium ejus est periculum artinya : Resiko atas suatu kepemilikian ditanggung oleh pemilik.
  13. Clausal rebus sic stantibus artinya : Perjanjian antara negara masih tetap berlaku apabila situasi dan kondisinya tetap sama.
  14. Judex debet judicare secundum allegata et probata artinya : Seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan.
  15. Ubi  jus ibi remedium artinya : Dimana ada hak, disana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya atau memperbaikinya apabila hak tersebut dilanggar.
  16. Presumtion justae cause artinya : Gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara.
  17. Errare humanum est, trupe in errore perseverare artinya : Membuat kekeliruan adalah manusiawi, tapi tidak baik untuk terus mempertahankan kekeliruan.
  18. Verba volant scripta manent artinya : Kata-kata biasanya tidak berbekas, tetapi apa yang ditulis tetap ada.
  19. Debet quis juri subjacere rrbi delinquit artinya : Seorang penggugat harus mengacu pada hukum yang berlaku di tempat dia mengajukan gugatan.
  20. Homo homini lupus, homo homini socius artinya : Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya,  manusia adalah teman bagi sesamanya.
  21. Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant artinya : Sesuatu dinyatakan sempura apabila setiap bagiannya sudah lengkap.
  22. Patior est qui prior est artinya : Siapa yang datang pertama, dialah yang beruntung.
  23. Ut sementem deceris ita metes artinya : Siapa yang menanam sesuatu, dialah yang akan memetik hasilnya.
  24. Summum ius summa injuria artinya : Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi.
  25. Restitutioin integrum artinya : Kekacauan dalam masyarakat haruslah dipulihkan ke kondisi semua.
  26. Nullum delictum nulla poera sine praevia lege poenali artinya : Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali ketentuan pidana dalam undang-undang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu.
  27. Melus est acciepere quam facere injuriam artinya : Lebih baik mengalami ketidakadilan daripada melakukan ketidakadilan.
  28. Resjudicata proveri tate habetur artinya : Setiap putusan hakim atau pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
  29. Iudex non ultra petita artinya : Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya. “Tambahan, seorang hakim tidak boleh memutuskan lebih tinggi daripada apa yang dituntut (petitum), karena hal tersebut akan menimbulkan Ultra Petita.
  30. Hodi mihi cras tibi artinya : Ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat.
  31. Accipere quid ut justitiam focias non est team accipere quam exiorquere artinya : Menerima imbalan untuk menegakkan keadilan lebih condong ke tindakan pemerasan, bukan hadiah.
  32. Opinio necessitatis artinya : Keyakinan atas sesuatu menurut hukum itu perlu sebagai syarat timbulnya hukum kebiasaan
  33. Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua artinya : Hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak.
  34. Juris quidem ignorantium cuique nocere, facti verum ignorantiam non nocere artinya : Pengabaian terhadap hukum akan merugikan semua orang, tetapi pengabaian terhadap fakta tidak.
  35. Iudex ne procedat ex officio artinya : Hakim bersifat pasif menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.
  36. Le salut du people est la supreme loi artinya : Hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat.
  37. Ei incumbit probatio quidicit, nonqui negat, artinya : Beban dari bukti disandarkan pada orang yang menugaskan tuduhan bukan pada yang menyangkal.
  38. Inde datae leges be fortior omnia posset, artinya : Hukum dibuat agar orang yang kuat punya kekuasaan yang terbatas.
  39. Ubi societas ibi justicia”, artinya : dimana ada masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum (keadilan).

Ada banyak istilah hukum yang patut dipahami terutama oleh mereka yang bergelut di bidang hukum. Semakin berkembang ilmu pengetahuan hukum, semakin banyak pula istilah yang dipergunakan. Beberapa di antara istilah hukum sudah dipergunakan sejak dulu (Indonesia merdeka) hingga sekarang, baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam buku-buku teks di lingkungan kampus.

Bahasa merupakan  alat komunikasi bagi manusia untuk mengungkapkan perasaan, menyampaikan buah pikiran kepada sesama manusia. Bahasa terbagi 3 yaitu : Lisan, Tulisan dan Pertanda atau lambang.

Bahasa hukum mempunyai ciri-ciri yang tegas yang berfungsi sebagai pembeda yaitu yang mencakup dengan konsep bahasa itu sendiri (istilah).

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat meng-ungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu dan kata atau ungkapan khusus;

Berikut ini adalah istilah bahasa hukum yang wajin harus diketahui oleh praktisi yang bergelut dalam bidang hukum seperti legal corporate, lawyer, para legal, dan praktisi hukum lainnya.


  1. Acara pemeriksaan singkat : Pemeriksaan terhadap perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali perkara pelanggaran lalu lintas.
  2. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan : Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah, dan penghinaan ringan.
  3. Actio in pauliana : Tuntutan hukum untuk pernyataan batal segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh pihak yang berhutang, yang menyebabkan penagih hutang dirugikan (pasal 1341 KUHPerdata).
  4. Actor rei forum sequitur : Penggugat harus menggugat tergugat di pengadilan di tempat tergugat tinggal.
  5. Actor sequitur forum rei : Pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal (mempunyai alamat, berdomisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak.
  6. Administrasi pengadilan : Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengadilan untuk menciptakan efisiensi, akurasi dan konsistensi dalam sistim peradilan. Suatu struktur administrasi pengadilan dilakukan dalam rangka menunjang kerja hakim dan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan. Administrasi pengadilan diantaranya meliputi pengawasan terhadap anggaran, penunjukan hakim dalam suatu perkara, menciptakan jadwal persidangan dan mengawasi pekerjaan yang bersifat non-perkara.
  7. Administrasi perkara : Rangkaian kegiatan yang dibutuhkan dalam menangani perkara dalam rangka penertiban dokumen data perkara semenjak pendaftaran perkara, persidangan, pengajuan upaya hukum sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan.
  8. Advokasi : Tindakan untuk mempermasalahkan suatu hal/ide/topik tertentu.
  9. Advokat : Orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 18 tahun 2003 ttg advokat.
  10. Advokat / pengacara asing : Advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  11. Aequo et bono : Suatu istilah yang terdapat pada akhir dokumen hukum dalam peradilan, baik perdata maupun pidana yang prinsipnya menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim pemeriksa perkara. Arti harfiahnya : apabila hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
  12. Ajudikasi/ adjudication : Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan; pengambilan keputusan.
  13. Akta : suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.
  14. Akta autentik : Akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan ataupun tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat di dalamnya; surat yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari.
  15. Akta di bawah tangan : Akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.
  16. Akta notariil : Akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu.
  17. Alat bukti : Alat yang sudah ditentukan didalam hukum formal, yang dapat digunakan sebagai pembuktian didalam acara persidangan, hal ini berarti bahwa diluar dari ketentuan tersebut tidak apat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. contoh : didalam hukum pidana, secara formal diatur dalam pasal 184 kuhap.
  18. Alat bukti surat : Surat yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
  19. Alibi : Bukti bahwa tersangka berada ditempat lain pada saat perbuatan hukum terjadi.
  20. Alternatif Penyelesaian Sengketa : sebuah penamaan untuk proses dan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
  21. Arbiter : orang perseorangan yang netral yang ditunjuk untuk memberikan putusan atas persengketaan para pihak.
  22. Arbitrase : salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
  23. Amnestie : Pernyataan umum (diterbitkan melalui atau dengan undang-undang) yang memuat pencabutan semua akibat pemidanaan dari suatu perbuatan pidana (delik) tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (delik) tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delik-delik tersebut.
  24. Aparatur hukum : Mereka yang memiliki tugas dan fungsi: penyuluhan hukum, penerapan hukum, penegakan hukum, dan pelayanan hukum.
  25. Asas audie et alteram partem : Kedua belah pihak harus didengar.
  26. Asas domisili : Status dan kewenangan personal seseorang ditentukan berdasarkan hukum domicile (hukum tempat kediaman permanen) orang itu.
  27. Asas Acta Publica Seseipsa : Suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, sampai terbukti sebaliknya.
  28. Asas Domein : Asas yang mengatur bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu tanah eigendomnya, adalah domein (milik) negara.
  29. Asas droit de suite : Asas berdasarkan hak suatu kebendaan seseorang yang berhak terhadap benda itu mempunyai kekuasaan/wewenang untuk mempertahankan atau menggugat bendanya dari tangan siapapun juga atau dimanapun benda itu berada.
  30. Asas Independence Of Protection : Asas yang memberi perlindungan yang diberikan terhadap ciptaan tidak digantungkan pada adanya perlindungan di negara asal ciptaan itu.
  31. Asas Kepastian Hukum : Asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
  32. Asas konsensus : bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Cara pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan.
  33. Asas exceptio non adimpleti contractus : Tangkisan bahwa pihak lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi.
  34. Asas in dubio pro reo : Dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa.
  35. Asas kebebasan berkontrak : Para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1. memenuhi syarat sebagai suatu kontrak; 2. tidak dilarang oleh undang-undang; 3. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; 4. dilaksanakan dengan itikad baik.
  36. Asas kebenaran materiil : Asas untuk mencari kebenaran hakiki berdasarkan fakta-fakta hukum.
  37. Asas kepastian hukum : Asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
  38. Asas legalitas : Dimana suatu tindak kejahatan tidak dapat dihukum atau di sebut sebagai tindak pidana apa bila sebuah perbuatan dilakukan tetapi belum terdapat keterangan dalam UU atau KUHP atau perbuatan itu dilakukan baru kemudian UU mengenai perbuatan itu di buat, maka hukum tidak berlaku bagi perbuatan ini atau diambil hukum yang paling ringan bagi terdakwa.
  39. Asas lex specialis derogat legi generalis : Kalau terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku.
  40. Asas lex superior derogat legi inferiori : Kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan.
  41. Asas ne bis in idem : Asas yang melarang seseorang untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya bagi kejahatan yang sama.
  42. Asas pacta sunt servanda : Bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan.
  43. Asas pengaitan : apabila terjadi suatu masalah maka harus dikaitkan dengan suatu norma kesusilaan tertentu.
  44. Badan hukum : Suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi.
  45. Badan usaha : Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;
  46. Berita Acara Pemeriksaan tersangka/saksi : Catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh penyidik/penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/saksi ahli, memuat uraian tindak pidana yang mencakup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas pemeriksa dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa, catatan mengenai akta dan /atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
  47. Berkas perkara : Kumpulan formulir dan dokumen, baik yang dibuat oleh para pihak maupun oleh Pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara.
  48. Barang bukti/corpus delicti : Barang yang digunakan untuk melakukan suatu kejahatan atau hasil dari suatu kejahatan.
  49. Batal demi hukum : Kebatalan yang terjadi berdasarkan undang-undang, berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan dianggap tidak pernah terjadi.
  50. Beban pembuktian terbalik : Beban yang menjadi tanggung jawab pelaku untuk membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana.
  51. Bebas dari segala dakwaan / Vrijspraak : Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim karena dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
  52. Benda sitaan : Benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan.
  53. Benturan kepentingan : Benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut.
  54. Berita Acara Persidangan (BAP) : Catatan yang berisi mengenai segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan saksi, hal yang penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli.
  55. Blancostraafbepalingen : Dalam ilmu hukum tindak pidana perekonomian, dalam bahasa belanda yang berarti “cek kosong”, di Indonesia hal ini dikenal sebagai dasar hukum untuk membuat undang undang tentang tindak pidana perekonomian yang belum dibuat undang undang khususnya. Jadi Pemerintah bisa membuat UU dengan dasar Blancostraafbepalingen ini. Blancstraafbepalingen diatur dalam Undang Undang Darurat, Kalo gak salah No. 8 tahun 67.
  56. Clausula Rebus Sic Stantibus : Keadaan yang menghilangkan kewajabian dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian apabila terjadi suatu “fundamental change of circumstances” atau perubahan yg mendasar dari suatu keadaan.
  57. Contempt of Court : Setiap tindakan dan/perbuatan, baik aktif maupun pasif, tingkah laku, sikap dan/ucapan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang bermaksud merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan instirusi peradilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga mengganggu dan merintangi sistem serta proses peradilan yang seharusnya.
  58. Dasar hukum : Peraturan hukum yang melandasi suatu perbuatan.
  59. De auditu testimonium de auditu : Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari orang lain.
  60. Delik : Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.
  61. Delik aduan : Delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan (korban).
  62. Delik berlanjut : Suatu perbuatan yang dilakukan sebagian demi sebagian hingga merupakan perbuatan pidana yang utuh.
  63. Delik commissionis : Delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang.
  64. Delik commissionis per ommissionis commissa : Delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang (delik commissionis) tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat.
  65. Delik culpa : Delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsurnya atau delik-delik yang cukup terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya dapat dihukum.
  66. Delik dengan pemberatan : Delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadaan-keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi lebih berat.
  67. Delik dolus : Delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan atau delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang dipersyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan “dengan sengaja”.
  68. Delik hukum/ rechts delict : Perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam dengan pidana dalam satu undang-undang atau tidak, jadi benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.
  69. Delik ommissionis : Delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan) menurut undang-undang.
  70. Delik materiil : Suatu perbuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.
  71. Delik undang undang/ wet delict : Perbuatan yang oleh umum baru disadari bahwa dapat dipidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena undang-undang mengancamnya dengan pidana.
  72. Deposisi : Bukti saksi atau ahli yang didasarkan atas sumpah yang dilakukan diluar pengadilan.
  73. Derdenverzet / perlawanan pihak ketiga : Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa.
  74. Diktum/pemidanaan : Suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran terhadap kaedah hukum (in abstracto) yang dilakukan oleh hakim terhadap fakta-fakta hukum yang telah diuji di pengadilan (in concretto).
  75. Doktrin ultra vires : Doktrin yang mengajarkan bahwa perseroan tidak dapat melakukan kegiatan di luar dari kekuasaan perseroan.
  76. Domisili : Tempat kediaman tetap.
  77. Droit de preference : Keistimewaan yang bersangkutan dengan hasil penjualan tanah yang dijadikan jaminan, dalam hubungannya dengan kreditur-kreditur lain yang tidak mempunyai hak yang lebih mendahulu.
  78. Duplik : Jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat.
  79. Eigenrichting / tindakan main hakim sendiri : Tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan, hal ini merupakan pelaksanaan sanksi oleh perorangan.
  80. Eksaminasi : Ujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan/hakim.
  81. Eksepsi dilatoir : eksepsi yang menyatakan, bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan, misalnya oleh karena penggugat telah memberikan penundaan pembayaran.
  82. Eksaminasi publik terhadap suatu putusan pengadilan : Suatu penilaian atau kontrol oleh masyarakat terhadap putusan hukum yang menjadi bagian dari publik atau menjadi milik publik.
  83. Eksekusi : Pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
  84. Eksepsi : Surat jawaban yang yang mengemukakan tangkisan di luar pokok perkara.
  85. Eksepsi materiil : Bantahan yang didasarkan atas ketentuan hukum materiil.
  86. Eksepsi prosesuil : Upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan.
  87. Events of defaults/wanprestasi/ cidera janji/trigger clausel opeisbaar clause : Tindakan-tindakan bank sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul.
  88. Fakta hukum : Uraian mengenai hal-hal yang menyebabkan timbulnya sengketa.
  89. Fiksi Hukum : Dimana setiap orang dianggap telah mengetahui tentang hukum,baik yang baru di sah kan atau yang udah lama.
  90. Forum rei sitae : Pengadilan di tempat benda tetap terletak (pasal 118 ayat 3 hir).
  91. Ganti kerugian : hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
  92. Ganti rugi aktual / actual damages : Kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung dengan mudah sampai ke nilai rupiah.
  93. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum : Suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya.
  94. Ganti rugi karena wanprestasi : Suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur.
  95. Ganti rugi nomimal : Ganti rugi berupa pemberian sejumlah uang, meskipun kerugian sebenarnya tidak bisa dihitung dengan uang, bahkan bisa jadi tidak ada kerugian material sama sekali.
  96. Ganti rugi penghukuman / punitive damages : Suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya, ganti rugi itu dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku.
  97. Grasi : Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada yang diberikan oleh presiden.
  98. Gratifikasi : Pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman, tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil dan dilakukan baik didalam negeri maupun diluar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
  99. Gugatan provisional : Suatu gugatan untuk memperoleh tindakan sementara selama proses perkara masih berlangsung dengan tujuan untuk menghindari kerugian yang lebih besar lagi bagi salah satu pihak.
  100. Gugatan balik : Gugatan yang diajukan oleh tergugat bersama-sama dalam jawabannya kepada penggugat.
  101. Gugatan perwakilan / Class Action : Gugatan yang berupa hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian.
  102. Gugatan perwakilan kelompok : Suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri meraka sendiri, dan sekaligus mewakili sekelompok orang banyak yang jumlahnya banyak, yan mewakili kesamaan fakta atas dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.
  103. Gugatan provisional : Suatu gugatan untuk memperoleh tindakan sementara selama proses perkara masih berlangsung.
  104. Gugatan Provisionil : Jadi gugatan ini bisa digugat oleh penasehat hukum, apabila putusan yang sudah incraht (berkekuatan hukum tetap) tidak bisa dilakukan eksekusi (permintaan pembayaran atau pemenuhan ganti rugi), dalam gugatan ini meminta kepada hakim untuk bisa menjalankan eksekusi sebelum putusan dijatuhkan.
  105. Grundnorm : norma dasar yg menjiwai suatu undang – undang.
  106. Hakim : Seseorang yang mempunyai fungsi memeriksa dan memutus (mengadili) suatu perkara.
  107. Hakim ad hoc : Hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
  108. Hakim bersifat menunggu/ judex ne procedat ex officio : Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan/ hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
  109. Harta pailit : Harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan.
  110. Hakim Pengawas : Hakim yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan putusan untuk perkara kepailitan dan mengawasi proses pemberesan yang dilakukan oleh kurator.
  111. Hukum yurisprudensi : Hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
  112. Resume bap tersangka/saksi : Ikhtisar dan kesimpulan dari hasil penyidikan tindak pidana yang terjadi yang dituangkan dalam bentuk dan persyaratan penulisan tertentu.
  113. Saksi : Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
  114. Saksi ahli/keterangan ahli : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
  115. Sitaan umum : Sitaan terhadap harta benda dengan kepemilikan mutlak pada debitur, baik yang ada sekarang maupun di masa yang akan datang yang digunakan sebagai jaminan pemberesan piutang debitur kepada para krediturnya.
  116. Sita maritaal : Penyitaan yang dilakukan untuk menjamin agar barang yang yang disita tidak dijual, untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengdilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.
  117. Sita revindicatoir : Penyitaan yang diminta oleh pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain, diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal.
  118. Surat gugatan : Surat permohonan (surat rekes) yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang.
  119. Surat keterangan ahli : Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
  120. Surat kuasa : Surat yang menerangkan bahwa seseorang memberikan kewenangan dan hak kepada orang yang ditujukan untuk melakukan sebagian urusannya di depan hukum.
  121. Surat kuasa khusus : Kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku khusus untuk hal-hal tertentu saja.
  122. Surat sanggup : Surat yang dibuat oleh seseorang yang berisikan suatu kesanggupan untuk membayar sejumlah uang pada waktu tertentu.
  123. Surat sanggup bayar/ promissory note : Surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya.
  124. Surat dakwaan kumulasi : Surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran. Dakwaan jenis ini bisa merupakan gabungan dari beberapa dakwaan sekaligus atau kumulasi tindak pidana ataupun gabungan dari beberapa terdakwa karena kumulas terdakwanya karena melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain. Biasanya terdapat kata “dan”
  125. Dakwaan Alternatif : surat dakwaan yang didalamnya terdapat beberapa perumusan tindak pidana, tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara tindak pidana yang didakwakan.
  126. Surat Dakwaan Subsidair : Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya.
  127. Tindak pidana aduan : Tindak-tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas permintaan dari pihak penderita atau korban.
  128. Tindak pidana khusus : Tindak pidana yang diatur tersendiri dalam undang undang khusus, yang memberikan peraturann khusus tentang tata cara penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaannya, maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP.
  129. Tindakan penahanan : Penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  130. Traktat : perjanjian antara kedua negara ataw lebih yang bisa mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat mengikat.
  131. Tuntutan hak : Tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”.
  132. Unifikasi : adalah penyatuan berbagai hukum  menjadi suatu kesatuan hukum secara sistimatis yang berlaku bagi seluruh warga negara di suatu negara.
  133. Upaya hukum : Hak atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kuhap.
  134. Upaya hukum biasa : Upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa/ penasihat hukumnya atau penuntut umum pada tingkat banding atau tingkat kasasi untuk mengadili dan memutus sendiri suatu perkara yang sudah diputus oleh pengadilan tingkat pertama (untuk banding) atau putusan pengadilan tinggi (untuk kasasi).
  135. Upaya paksa : Upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan dalam rangka melaksanakan proses peradilan.
  136. Utang piutang : Memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia (orang yang meminjam) akan mengembalikannya sejumlah yang dipinjam.
  137. Wanprestasi : Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.
  138. Yurisprudensi : Suatu keputusan hakim yang terdahulu yang diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam perkaranya yang sama
  139. Yurisprudensi (hk adm negara) : Ajaran hukum yang tersusun dari dan dalam peradilan, yang kemudian dipakai sebagai landasan hukum
  140. Beban pembuktian; Kewajiban memberikan bukti atas dalil-dalil yang diungkapkan di muka pengadilan.

  1. Ilegal (logging) : Kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
  2. In casu : Dalam perkara ini, dalam hal ini.
  3. Inkracht : Suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  4. Jaksa : Pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
  5. Jatuh tempo : Suatu ketetapan waktu yang ditentukan undang-undang dalam jangka waktu mana debitur wajib memenuhi perikatan.
  6. Judex : Hakim
  7. Judex facti (dalam hukum perdata) : Hakim yang berwenang memeriksa fakta dan bukti, dalam hal ini hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
  8. Judicatum : Keputusan
  9. Juncto : “dihubungankan/dikaitkan” dapat berupa undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang satu dengan undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang lainnya dan biasanya disingkat dengan “jo”. misalnya : undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 7 tahun 1987 tentang perubahan atas undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 12 tahun 1997 tentang perubahan atas undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dalam hal ini dapat disingkat undang-undang nomor 6 tahun 1982 jo undang-undang nomor 7 tahun 1987 jo undang-undang nomor 12 tahun 1997.
  10. Juru sita : Petugas pengadilan yang melaksanakan putusan pengadilan atas perkara perdata selain perkara kepailitan.
  11. Kadaluarsa (verjaring) : Lampaunya tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang, sehingga mengakibatkan orang yang menguasai barang memperoleh hak milik.
  12. Kasus Posisi : Urutan peristiwa yang terkait dengan perkara.
  13. Kaidah hukum : Peraturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan.
  14. Kasasi : Pembatalan putusan atas penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tungkat peradilan terakhir.
  15. Keadaan kahar; keadaan memaksa/force majeure / overmacht : Keadaan di mana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak,keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
  16. Kegiatan eksaminasi publik : melakukan pengujian terhadap suatu putusan pengadilan atau putusan hukum yang terkait dengan kepentingan hukum, penegakan hukum dan keadilan dan masyarakat secara luas, oleh sebab itu dalam melakukan eksaminasi perlu dilakukan secara hati-hati, cermat dan tidak melanggar hukum atau bertentangan dengan asas-asas hukum.
  17. Kekuatan pembuktian formil : Didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. kekuatan ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.
  18. Kelalaian/negligence : Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
  19. Kepailitan :Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
  20. Keputusan declaratoir : Suatu keputusan yang menimbulkan suatu keadaan hukum baru.
  21. Keterangan ahli : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
  22. Keterangan anak : Keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
  23. Keterangan saksi : Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
  24. Keterangan terdakwa : Apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (pasal 189 ayat (1) KUHAP).
  25. Kewajiban : Beban yang diberikan oleh hukum kepada orang ataupun badan hukum.
  26. Kompetensi absolut (kewenangan mutlak) : Kewenangan badan pengadilan didalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.
  27. Kompetensi relatif : Wewenang hakim berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan.
  28. Kreditur : pihak ( perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) dimana diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang.
  29. Kreditur konkuren : Kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan suatu hak kebendaan tertentu.
  30. Kreditur separatis : Kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak kebendaan tertentu, misalnya hipotik, fiducia, gadai atau hak tanggungan.
  31. Kreditur preferen : Kreditur yang tagihannya didahulukan atau diistimewakan daripada tagihan-tagihan kreditur lain.
  32. Kualifikasi gugatan : Suatu perumusan mengenai perbuatan materiil maupun formal dari tergugat, yang dapat berupa perbuatan melawan hukum, wanprestasi dan lain-lain.
  33. Kontra memori kasasi : Jawaban termohon kasasi atas memori kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi.
  34. Kuasa hukum : Pihak yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan proses hukum di muka pengadilan.
  35. KUHAP : Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
  36. Kurator Kepailitan : Balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini.
  37. Lembaga perlindungan saksi dan korban : Lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
  38. Lex specialis derogat legi generali : peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengeyampingkan peraturan perundang-undangan yang besifat lebih umum.
  39. Locus delictie/tempat kejadian perkara, TKP :

a) Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi, atau akibat yang ditimbulkannya;

b) Tempat-tempat lain dimana barang-barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat diketemukan; tempat dimana pembuat melakukan sesuatu adalah tempat dimana ia seharusnya melakukan sesuatu, atau tempat terjadinya akibat yang dimaksud dalam perumusan peraturan perundang-undangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat ini.

  1. Masa percobaan : Masa tertentu yang diberikan oleh hakim melalui putusannya kepada seorang terpidana untuk memperbaiki perbuatannya dengan syarat tidak mengulangi perbuatannya atau melakukan perbuatan lain yang dapat dipidana.
  2. Memori kasasi : Alasan yang diberikan pemohon kasasi dalam mengajukan upaya hukum kasasi.
  3. Menejemen alur perkara : Mengkoordinasikan proses dan sumber daya pengadilan agar perkara berjalan secara tepat waktu mulai dari pendaftaran sampai dengan penyelesaian dengan tanpa memperhatikan jenis penyelesaiannya.
  4. Minutasi perkara : Proses yang dilakukan panitera pengadilan dalam menyelesaikan proses administrasi meliputi pengetikan, pembendelan serta pengesahan suatu perkara.
  5. Nebis in idem : Asas yang menyebutkan bahwa terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya.
  6. Nodweer : Bela paksa. Artinya suatu perbuatan yang dilakukan untuk melakukan pembelaan.
  7. Nodweer Excess : Bela paksa lampau batas. Pembelaan yang dilakukan akan tetapi melebihi batas yang seharusnya. Contoh: orang dipukul lalu membalas dengan memukul orang tersebut berkali-kali hingga tewas. syaratnya harus ada goncangan jiwa yang kuat.
  8. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali : Tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan (asas legalitas, pasal 1 ayat 1 KUHP).
  9. Obscure Libels : Suatu ketidak jelasan dalam hal waktu,tempat dan orang yang terlibat, dalam suatu perkara.
  10. Onrechtmatigedaad(tort/perbuatan melawan hukum) : Perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
  11. Organisasi advokat : Organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat.
  12. Pailit : Suatu keadaan di mana seseorang sudah tidak mampu lagi membayar hutang-hutangnya.
  13. Panitera : Pejabat pengadilan yang salah satu tugasnya adalah membantu hakim dalam membuat berita acara pemeriksaan dalam proses persidangan.
  14. Panitera pengadilan/ clerk of the court : Pejabat atau petugas yang berfungsi memelihara atau menjaga segala dokumen atau melaksanakan pekerjaan umum kantor pengadilan (to perform general office work).
  15. Pembantaran penahanan : Penahanan yang dilakukan kepada tersangka yang sakit dan perlu dirawat inap di rumah sakit, dengan ketentuan jangka waktu tertentu menjalani rawat inap tersebut tidak dihitung sebagai masa penahanan.
  16. Pembebasan bersyarat : Bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
  17. Pembuatan berita acara pemeriksaan tersangka dan saksi : Catatan/ tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh penyidik atau penyidik pembantu (pemeriksa atas) atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/ ahli (yang diperiksa), memuat uraian tindak pidana yang mencakup/ memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas pemeriksa dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa, catatan mengenai akta dan/ atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
  18. Pembuktian : Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
  19. Pembuktian terbalik/pidana : Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
  20. Pemeriksaan tindak pidana ringan/ pemeriksaan cepat/summir : Pemeriksaan terhadap perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (pasal 211 s/d 216 KUHAP).
  21. Penahanan : Penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  22. Penangguhan penahanan : Mengeluarkan tersangka/ terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir.
  23. Penangkapan : Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  24. Penasehat hukum : Seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
  25. Penegakan hukum : Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.
  26. Pengaduan : Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
  27. Pengakuan di muka hakim di persidangan : Keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.
  28. Pengawasan narapidana : Pengawasan terhadap orang-orang yang untuk sementara waktu dilepas dari lembaga pemasyarakatan.
  29. Penggugat : Pihak yang terdiri dari satu orang atau lebih yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak ke pengadilan negeri yang berwenang.
  30. Penuntut Umum : Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melaksanakan penuntutan dan melaksaakan penetapan hakim.
  31. Penyelidikan : Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  32. Penyidik pembantu : Pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu dengan pangkat serendah-rendahnya sersan dua (serda) yang diangkat oleh kepala kepolisian negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
  33. Penyidikan : Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
  34. Penyitaan : Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
  35. Peradilan koneksitas : Bercampurnya orang-orang yang sebenarnya termasuk yurisdiksi pengadilan yang berbeda dalam suatu perkara.
  36. Perbuatan melanggar atau melawan hukum : Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain.
  37. Perbuatan pidana formil/ delik formil : Perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.
  38. Percobaan : Percobaan untuk melakukan kejatahan yang nyata dari adanya permulaan pelaksanaan, namun pelaksanaan itu tidak selesai, oleh karena sebab-sebab di luar kehendak pelaku.
  39. Perdamaian : Suatu persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
  40. Perikatan kumulatif : perikatan dengan lebih daripada satu prestasi bagi debitor.
  41. Perjanjian perdamaian/dading : Suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara.
  42. Perkara koneksitas : Perkara tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan mereka yang termasuk lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali berdasarkan hasil penyidikan/ penelitian oleh “tim tetap” ternyata titik berat kerugian yang ditimbulkan terletak pada kepentingan militer.
  43. Perlawanan/verzet : Upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat.
  44. Perlindungan saksi : Pemberian jaminan kemanan terhadap saksi dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.
  45. Persetujuan timbal balik : Persetujuan yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
  46. Petitum : Dalil-dalil yang menjadi tuntutan para pihak dalam proses perkara perdata khususnya dalam surat gugat; merupakan kesimpulan dari suatu gugatan, yang berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim atau pengadilan.
  47. Piutang : Hak untuk menerima pembayaran.
  48. Pleidooi/nota pembelaan : Alasan/ dasar hukum yang diajukan oleh terdakwa atau melalui penasihat hukumnya, untuk melemahkan pendapat-pendapat penuntut umum sebagaimana dikemukakan dalam tuntutan pidana, dan atas dasar alasan/ dasar tersebut terdakwa/ penasihat hukum meminta agar terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
  49. Posita : Dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari tuntutan.
  50. Praperadilan : Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: -.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 1. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 2. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
  51. Penetapan hakim : Putusan Hakim yang bersifat declaratoir untuk menetapkan suatu peristiwa tertentu.
  52. Pengadilan tingkat pertama : Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pada tingkat pertama.
  53. Perkara-perkara yang telah didaftarkan : Perkara yang telah memiliki nomor urut perkara.
  54. Perkara-perkara yang belum diputus : Perkara yang telah didaftarkan namun belum diputus oleh majelis hakim.
  55. Poging : percobaan dalam tindak pidana, jadi saja hanya tindak pidana yang selesai saja yang bisa dihukum.
  56. Pro bono : Suatu perbuatan/pelayanan hokum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya.
  57. Preponderance of evidence : Bukti-bukti yang lebih berbobot atau lebih meyakinkan atau lebih dapat dipecaya jika dibanding dengan bukti lainnya, atau bukti-bukti yang dianggap cukup untuk dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa.
  58. Proses peradilan : Suatu rangkaian acara peradilan mulai dari penindakan terhadap adanya suatu tindak pidana (sumber tindakan) sampai pada lahirnya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
  59. Putusan condemnatoir : Putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
  60. Putusan insidentil : Putusan yang bersifat sementara untuk mencegah timbulnya akibat hukum yang lebih lanjut sebelum putusan dijatuhkan.
  61. Putusan interlocutoir : Putusan yang isinya memerintahkan pembuktian.
  62. Putusan lepas : Putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
  63. Putusan berkekuatan hukum tetap : Putusan yang sudah tidak dilakukan upaya hukum lagi baik banding maupun kasasi.
  64. Putusan pengadilan : Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  65. Putusan praeparatoir : Putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir.
  66. Putusan provisionil : Putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.
  67. Putusan sela / antara : Putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
  68. Putusan verstek : Putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa hadirnya tergugat, meskipun telah dipanggil secara layak (sebagaimana mestinya).
  69. Rehabilitasi kepailitan : Penghapusan dosa bagi debitur pailit, sehingga setelah rehabilitasi tersebut, debitur benar-benar seperti tidak pernah terjadi kepailitan.
  70. Replik : Jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya.
  71. Requisitoir : Suatu pembuktian tentang terbukti atau tidaknya surat dakwaan.
  72. Restitusi : Suatu nilai tambah yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan wanprestasi.
  73. Saksi a charge : Saksi yang memberatkan/memberikan keterangan yang memberatkan.
  74. Saksi a decharge : Saksi yang meringankan/memberikan keterangan yang meringankan.
  75. Saksi korban : Saksi yang mengalami kejadian dan yang dirugikan atas suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain.
  76. Saksi mahkota : Terdakwa yang bersaksi untuk terdakwa lain.
  77. Sita : Suatu tindakan yang diambil oleh pengadilan melalui penetapan hakim, atas permohonan penggugat, guna menempatkan barang (tetap/bergerak) berada dalam penguasaan/pengawasan pengadilan, sampai adanya suatu putusan yang pasti tentang suatu perkara.
  78. Sita conservatoir : Sita jaminan terhadap barang milik debitur untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.
  79. Sitaan gadai : Sitaan yang menyangkut barang milik orang lain yang kebetulan si pailit sebagai pemegang gadai.
  80. Surat dakwaan : Surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan, serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dan undang-undang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apabila betul, terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut.
  81. Surat dakwaan campuran : Bentuk gabungan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan subsider atau dengan bentuk-bentuk dakwaan lainnya.
  82. Svanungverhaits : ketegangan antara ketiga konsep dasar hukum(kepastian,keadilan, kemanfaatan).
  83. Terdakwa : Seorang tersangka (seseorang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana) yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan (pasal 1 butir 14 jo. butir 15 KUHAP).
  84. Tergugat : Orang atau badan hukum yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan hak oleh penggugat.
  85. Terpidana : Seseorang yang didasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah.
  86. Tersangka : Adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
  87. Tertangkap tangan : Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
  88. Tindak pidana : Setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
  89. Tindak pidana korupsi adalah : a. tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat; b. perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan; c. kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 kitab undang-undang hukum pidana.

Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:

  1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
  2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:

  1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
  2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
  3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
  4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:

  1. Ahli waris berdasarkan Undang-undang.
  2. Ahli karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).

Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat wasiat (testament), maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut :

  1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
  2. Apabila pewaris tidak memiliki istri dan anak-anak, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
  3. Apabila orang tua pewaris telah meninggal, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).

Untuk membuktikan bahwa seseorang merupakan ahli waris dari pewaris dalama proses pendaftaran balik nama waris atas tanah, berdasarkan pasal 111 ayat 1 angka 4 Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 /1997 tentang ketentuan pelaksanaan peratutan pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut “PMNA No.3 /1997), disebutkan bahwa surat tanda bukti hak yang bentuknya terdiri dari:

  1. Wasiat dari Pewaris, atau
  2. Putusan Pengadilan, atau
  3. Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan, atau
  4. Surat Keterangan Waris

Bentuk seperti dimaksud pada angka 4 diatas (Surat Keterangan Waris) dibagi 2 (dua) kategori yaitu:

  1. Surat Keterangan Waris: bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;
  2. Akta keterangan hak mewaris dari Notaris: bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa:

Contoh akta Pernyataan Waris yang dibuat oleh Notaris ==> DOWNLOAD

  1. Pengertian Etika

Sebelum membahas pentingnya etika profesi, lebih baik kita mengetahui terlebih dahulu apa arti dari etika profesi. Etika profesi terdiri dari dua kata yaitu etika dan profesi. Menurut Isnanto (2009), etika berasal dari bahasa yunani yaitu “ethos” yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Etika juga dapat diartikan sebagai kumpulan asas / nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai yang mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.

Etika akan berkaitan dengan pokok pemikiran yang dimilki seorang atau sekelompok individu untuk membuat suatu batasan-batasan atau standard-standard tertentu, yang berguna untuk mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya ke arah yang benar. Etika ini kemudian diubah ke dalam kode (kode etik) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika dinilai menyimpang dari kode etik, sedangkan profesi berasal dari bahasa latin yaitu professus yang berarti menyiratkan. Sesuatu bisa dikatakan sebagai profesi apabila terdapat wadah organisasi untuk menampung dan memberikan dukungan kepada sesama penyandang profesi tersebut.

Dalam pengertian lain, Etika adalahsebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral, sedangkan Profesi adalahJanji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap / permanen”Seseorang yang berkompeten.

2. Etika Dan Moral

  • Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, ethos.
  • Dalam filsafat Yunani, etika bersumber dari spekulasi tentang kehidupan yang baik yang disistematisasikan ke dalam bagian filsafat dan disebut sebagai etika.
  • Kata tersebut menunjuk kepada “kebiasaan-kebiasaan”(customs), yaitu kebiasaan dalam arti ide tentang yang baik dan yang buruk dalam diri manusia.
  • Etika juga didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan atau moral.
  • Kesusilaan dan moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang mengambil bentuk amar dan larangan.
  • Dikatakan juga, Etika adalah filsafat tentang ajaran moral.
  • Maka dari itu etika berbeda dengan moral.

Etika Berbeda Dengan Moral, Ajaran moral menjawab pertanyaan tentang “bagaimana orang harus hidup, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, dan apa yang wajib diperbuat,” sedangkan  etika menjawab pertanyaan tentang “bagaimana pertanyaan moral   itu dapat dijawab.”

3. Pengertian Profesi

Profesi adalah suatu pekerjaan yang melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi.

Keahlian yang diperoleh dari lembaga pendidikan khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggung jawabkan.

Seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu disebut professional, sedangkan professional sendiri mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya.

4. Pengertian Etika Profesi

Etika profesi menurut Keiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.

5. Pengertian dan Tujuan Kode Etik Profesi

Kode etik profesi adalah system norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional. Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.

Tujuan kode etik yaitu agar professional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak professional.

6. Pengertian Kode Etik

  • Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
  • Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan.
  • Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.
  • Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.

8. Fungsi Kode Etik Profesi

Kode etik profesi itu merupakan sarana  untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi.

9. Kedudukan Notaris dan PPAT

Merujuk pada ketentuan pasal 1 angka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dan selanjutnya dalam penjelasannya ditegaskan bahwa Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, yang artinya bahwa jabatan notaris adalah merupakan sebuah prosesi, oleh karenanya harus memiliki kode etik prosesi.

Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT sebagaimana ketentuan pasal 1 angka Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Dalam menjalankan profesi jabatan notaris, maka terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan notaris yaitu :

I. JABATAN NOTARIS

  1. UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Pasal 82

  1. Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.
  2. Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 83

  1. Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
  2. Organisasi Notaris memiliki buku daftar anggota dan salinannya disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas.

2. UU No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Pasal 82

  1. Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.
  2. Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia.
  3. Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris.
  4. Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Notaris.
  5. Ketentuan mengenai penetapan, pembinaan, dan pengawasan Organisasi Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 83 (tetap tidak berubah ==> UU No 30 Tahun 2004)

  1. Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
  2. Organisasi Notaris memiliki buku daftar anggota dan salinannya disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas.
  • Atas dasar ketentuan tersebut angka I. A diatas (UU No. 30 Tahun 2004), maka di buatlah Perubahan Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia. AD INI Hasil Kongres Luar Biasa INI di Bandung tgl 27 Januari 2005.
  • AD tersebut hasil Kongres Luar Biasa INI di Bandung tgl 27 Januari 2005, mengalami perubahan pada Kongres XIX INI di Jakarta tanggal 27-28 Januari 2006, perubahan pada beberapa Pasal yaitu:
    • Pasal 10 ayat (2);
    • Pasal 10 ayat (4);
    • Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), dan
    • Pasal 17 ayat (1).
  • Terakhir AD INI dirubah atas dasar ketentuan tersebut angka I.B diatas (UU No. 2 Tahun 2014), maka di buatlah Perubahan Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia, yaitu Perubahan Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia yang diselenggarakan di Banten, 29-30 Mei 2015, terdiri dari 15 item perubahan.

Khusus pada perubahan angka 11. Judul dan ketentuan Bab VI Pasal 13 ayat (3) diubah, sehingga Judul dan ketentuan Bab VI Pasal 13 berbunyi sebagai berikut :

BAB VI

KODE ETIK NOTARIS DAN PENEGAKAN KODE ETIK NOTARIS

Pasal 13

  1. Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan Notaris, Perkumpulan mempunyai Kode Etik Notaris yang ditetapkan oleh Kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota Perkumpulan.
  2. Dewan Kehormatan melakukan upaya-upaya untuk menegakkan Kode Etik Notaris.
  3. Dewan Kehormatan dapat bekerjasama dengan Pengurus Perkumpulan dan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas dan/atau Majelis Kehormatan Notaris untuk melakukan upaya penegakan Kode Etik Notaris.

II.  JABATAN PPAT

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

10. Peranan etika dalam profesi

Nilai nilai etika itu tidak hanya miliki satu atau dua orang atau segolongan orang saja tetapi milik sekelompok masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Kode etik hanya ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggota penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Kehadiran organisasi ini diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan suatu profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian.

Peranan Kode Etik dalam kaitannya dengan notaris dan PPAT adalah karena jabatan notaris dan PPAT merupakan sebuah profesi yang harus dijalankan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan harus tunduk kepada peraturan etika profesi yang selanjutnya disebut dengan “kode etik”.  

  1. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :
    1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya  bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
    2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan sosial).
    3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan  bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.
  2. Selanjutnya terdapat 4 Prinsip Etika Profesi dalam menjalankan profesinya yaitu seseorang perlu memiliki dasar-dasar yang perlu diperhatikan, diantaranya :
    1. Prinsip Tanggung Jawab. Seorang yang memiliki profesi harus mampu bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan dari profesi tersebut, khususnya bagi orang-orang di sekitarnya.
    2. Prinsip Keadilan. Prinsip ini menuntut agar seseorang mampu menjalankan profesinya tanpa merugikan orang lain, khususnya orang yang berkaitan dengan profesi tersebut.
    3. Prinsip Otonomi. Prinsip ini didasari dari kebutuhan seorang profesional untuk diberikan kebebasan sepenuhnya untuk menjalankan profesinya.
    4. Prinsip Integritas Moral. Seorang profesional juga dituntut untuk memiliki komitmen pribadi untuk menjaga kepentingan profesinya, dirinya, dan masyarakat.
  3. Kode Etik Notaris Dan PPAT
    1. Kode Etik Notaris Diatur Dalam Peraturan Kode Etik Notaris Hasil Kongres Luar INI Banten, 29-30 Mei 2015
      Definisi Kode Etik Notaris diatur dalam Pasal 1 Angka 2.
    2. Kode Etik PPAT Diatur Dalam Lampiran Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No 112/Kep-4.1/Iv/2017 Tentang Pengesahan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Definisi Kode Etik IPPAT Diatur Dalam Pasl 1 Angka 2.
  • Kode Etik Menurut Peraturan Kode Etik Notaris Hasil Kongres Luar Ini Banten,  29-30  Mel 2015.

Pasal 1 angka 2

Kode Etik  Notaris dan  untuk  selanjutnya  akan  disebut  Kode Etik adalah kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan INI yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam  peraturan  perudangan-udangan-an yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota  Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti pada saat menjalankan jabatan.

  • Kode Etik IPPAT menurut Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional  No:  112/Kep-4.1/Iv/2017 Tanggal : 27 April 2017

Pasal 1 angka 2

Kode Etik PPAT yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh anggota perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.

4. Syarat untuk berfungsinya Kode Etik

  • Syarat mutlak adalah bahwa kode etik  itu dibuat oleh profesi sendiri. Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi hasil self-regulation (pengaturan diri) dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki.  Hal itu tidak pernah bisa dipaksakan dari luar.
  • Kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus menerus. Kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode. Tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis.
  • Kode etik berisikan juga ketentuan bahwa profesional berkewajiban melapor, bila ketahuan teman sejawat melanggar kode etik.  Ketentuan ini merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik: seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar.

Dari pengertian etika dan profesi yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa etika profesi merupakan suatu pokok pemikiran yang tersusun dalam kode etik suatu organisasi dan harus dimiliki oleh setiap anggotanya untuk ikut berperan mengawasi suatu profesi. Salah satu pokok pemikiran yaitu kebebasan.

Di dalam pokok pemikiran tersebut terdapat bidang-bidang lainnya. Seperti kebebasan, dalam kebebasan terdapat bidang-bidang seperti kebebasan dalam menyelidiki, kebebasan dalam mengomunikasi hasil penelitian, kebebasan dalam mempublikasikan hasil penelitian, dan lain-lainnya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa etika profesi itu penting untuk seorang notaris dan PPAT karena di dalam etika profesi, para notaris dan PPAT diajarkan mengenal batasan-batasan mengenai sejauh mana ia harus bertindak dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris dan PPAT. Para notaris PPAT maupun calon notaris PPAT harus mengetahui perbuatan apa saja yang dianggap sebagai suatu pelanggaran. Dengan begitu, para notaris PPAT dan calon notaris PPAT dituntut untuk menjadi notaris yang bertanggung jawab dan berkualitas yang menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik yang ada.

Tim : rs-lawyer.id


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.06/2019 TENTANG BALAI LELANG

Ketentuan umum pasal 1 dalam PMK 113 tahun 2019 yang dimaksud dengan Balai Lelang adalah Badan Hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang.

Kantor Perwakilan Balai Lelang yang selanjutnya disebut Kantor Perwakilan adalah unit Balai Lelang yang berkedudukan di luar kota/kabupaten tempat kedudukan Balai Lelang yang telah mendapatkan izin pembukaan Kantor Perwakilan.

Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.

Pejabat Lelang Kelas I adalah Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Keuangan yang diangkat sebagai Pejabat Lelang yang merupakan pejabat umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan.

Pej abat Lelang Kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela.

Untuk mendapatkan izin operasional sebagaimana Balai Lelang
harus didirikan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) dan harus memiliki modal disetor berupa uang paling sedikit :

Rp. l0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi Balai Lelang yang didirikan di wilayah:
1. Provinsi DKI Jakarta;
2. Kota Bekasi;
3. Kabupaten Bekasi;
4. Kota Bogor;
5. Kabupaten Bogor;
6. Kota Depok;
7. Kota Tangerang;
8 . Kota Tangerang Selatan; dan
9. Kabupaten Tangerang,
selanjutnya disebut zona I;

Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) bagi Balai Lelang yang didirikan di wilayah provinsi, kota dan kabupaten di Pulau Madura dan di Pulau Jawa di luar zona I, selanjutnya disebut zona II; dan

Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) bagi Balai Lelang yang didirikan di wilayah provinsi, kota, dan kabupaten di luar zona I dan zona II, selanjutnya disebut zona III.

Saham Balai Lelang dimiliki sebagaimana diatur dalam ketentuan dimaksud pasal 5 ayat (1) PMK 113/2019 yaitu : a. swasta nasional; b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); c . Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); atau d . patungan swasta nasional, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan/ atau swasta asing, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5 (2) Kepemilikan saham oleh swasta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari modal disetor.

Sejumlah ketentuan lain juga telah diatur dalam PMK 113/2019 ini, untuk mengetahuinya silahkan download PMK 113/2019 pada link berikut ini.

Berlakunya peraturan ini sekaligus mencabut PMK sebelumnya, sebagaimana ketentuan dalam pasal Pasal 63 sebagai berikut:

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 476); dan b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1339), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Download PMK 113/2019

Download PPT Ringkasan Peraturan Balai Lelang

Ditulis dan dipublikasi oleh : Tim rs-lawyer.id



rs-lawyer.id | Sebelum membahas apa itu pemalsuan, harus dipahami terlebih defenisi dari pemalsuan. Dikutip dari sumber wikipedia disebutkan bahwa Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau benda, statistik, atau dokumen-dokumen , dengan maksud untuk menipu.  Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang diperoleh melalui pemalsuan.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, Pemalsuan berasal dari suku kata “palsu” yang berarti tidak tulen, tidak sah, tiruan, curang dan tidak jujur. Pemalsuan dapat diartikan sebagai perbuatan meniru sesuatu atau membuat sesuatu secara tidak sah sehingga tampak seperti yang asli. Sedangkan menurut KBBI Online, pemalsuan adalah proses, cara, perbuatan memalsu.

Pemalsuan tanda tangan adalah upaya atau tindakan memalsukan tanda tangan dengan meniru bentuk tanda tangan yang dipalsukan.

Sedangkan defenisi menurut Adam Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana Bagian I yang disalin dari artikel http://ningsih-ningnong.blogspot.com, Pemalsuan merupakan kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

Dan menurut Andi Hamzah dalam bukunya Terminology hukum Pidana, Pemalsuan adalah perbuatan mengubah atau meniru dengan menggunakan tipu muslihat sehingga menyerupai aslinya.

Macam-macam pemalsuan :

a. Pemalsuan intelektual pemalsuan ientelektual tentang isi surat / tulisan.

b. Pemalsuan uang : pemalsuan mata uang, uang kertas Negara / bank,dan dipergunakan sebagai yang asli.

c. Pemalsuan materiel : pemalsuan tentang bentuk surat / tulisan.

d. Pemalsuan merk : pemalsuan merk dengan maksud menggunakan / menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah merk yang asli.

e. Pemalsuan materai : pemalsuan materai yang dikeluarkan Negara / peniruan tanda tangan, yang diperlukan untuk keabsahan materai dengan maksud menggunakannya / menyuruh orang lain untuk memakainya seolah – olah materai yang asli.

f. Pemalsuan tulisan : pemalsuan tulisan termasuk surat, akta, dokumen / peniruan tanda tangan orang lain, dengan maksud menerbitkan hak, menghapus utang serta menggunakan / menyuruh orang lain menggunakannya seolah – olah tulisan yang asli. (Andi Hamzah, Terminology hukum Pidana, Sinar Grafika).

Dasar hukum tindak pidana pemalsuan surat atau akta terdapat dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disalin dari USU Law Journal, Vol.3 No. 3 Themis Simaremare M. Hamdan, Mahmud Mulyadi, Jelly Leviz yaitu :

1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Unsur-unsur pemalsuan surat berdasarkan pasal 263 ayat (1) diatas adalah :

1. Membuat surat palsu atau memalsukan surat, artinya membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau memalsukan surat dengan cara mengubahnya sehingga isinya menjadi lain seperti aslinya yaitu itu dengan cara :

a. Mengurangkan atau menambah isi akta.

b. Mengubah isi akta.

c. Mengubah tandatangan pada isi akta.

Unsur pertama ini adalah unsur obyektif yang artinya perbuatan dalam membuat surat palsu dan memalsukan surat.

2. Dalam penjelasan pada pasal tersebut disebutkan, yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yakni :

a. Yang dapat menerbitkan sesuatu hak.

b. Yang dapat menerbitkan sesuatu perutangan.

c. Yang dapat membebaskan daripada hutang.

d. Yang dapat menjadi bukti dalam sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian. Unsur kedua ini tergolong kepada unsur objektf.

3. Dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang di palsukan, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan. Artinya perbuatan memalsukan surat seolah-olah surat asli harus dengan niat menggunakannya atau menyuruh orang lain, menggunakannya. Unsur ketiga ini tergolong pada unsur subjektif.

4. Merugikan orang lain yang mempergunakan surat tersebut.

Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah :

1) Unsur obyektif yaitu :

a. Perbuatan yaitu memakai.

b. Obyeknya yaitu surat palsu dan surat yang dipalsukan

c. Pemakaian surat tersebut dapat merugikan

2) Unsur subyektif dengan sengaja

Untuk dapat dikenai sanksi pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP ini sebagaimana dijelaskan R. Soesilo (hlm 195) yang disalin dari artikel https://lsc.bphn.go.id, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang : a. Dapat menerbitkan hak, misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya. b. Dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya. c. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya kwitansi atau surat semacam itu; atau d. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi.

Ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebutkan :

1) Yang bersalah karena memalsukan surat dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 8 (delapan ) tahun, kalau perbuatan itu dilakukan terhadap: a. Surat pembuktian resmi (akta otentik). b. Surat utang atau tanda utang dari suatu negara atau sebagiannya atau dari lembaga hukum. c. Sero atau surat utang atau surat tanda sero atau surat tanda utang dari suatu perhimpunan yayasan, perseroan atau maskapai. d. Talon atau surat untung sero (deviden) atau surat bunga uang dari salah satu surat yang diterangkan pada huruf b dan c atau tentang surat bukti yang dikeluarkan sebagai surat pengganti surat itu. e. Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.

2) Di pidana dengan pidana itu juga barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan tersebut dalam ayat (1), seolah –olah surat itu asli dan tidak dipalsukan. Jika hal memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Unsur-unsur kejahatan pada ayat (1) dikutip dari (P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, adalah:

1. Unsur-unsur obyektif yaitu : a. Perbuatan itu membuat surat palsu dan memalsukan b. Obyeknya yaitu surat sebagaimana tercantum dalam ayat (1) huruf “a” sampai dengan “ e”. c. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.

2. Unsur subyektif yaitu: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. Unsur-unsur kejahatan pada ayat (2) diatas adalah :

1) Unsur-unsur obyektif yaitu : a. Perbuatan yaitu memakai b. Obyeknya adalah surat-surat sebagaimana tersebut dalam ayat (1). c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu.

2) Unsur subyektif yaitu dengan sengaja.

Tindak Pidana Pemalsuan dalam Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Sanksi menurut ketentuan pasal ini adalah mereka yang menyuruh menggunakan sarana tersebut untuk melakukan kejahatan, atau mereka dengan sengaja menggunakan sertifikat palsu sebagai sarana melakukan kejahatan pertanahan. Menurut P.A.F. Lamintang dalam bukunya, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal diatas adalah sebagai berikut.

Ayat Ke- 1 mempunyai unsur-unsur :

1. Unsur Objektif.

a. Perbuatan : menyuruh memasukkan.

Kata “menyuruh melakukan” seperti dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP, orang yang disuruh melakukan itu haruslah merupakan orang yang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Sedangkan perbuatannya “menyuruh mencantumkan” seperti yang dimaksud dalam pasal 266 ayat (1) KUHP itu. Orang yang disuruh mencantumkan keterangan palsu di dalam suatu akta otentik itu tidaklah perlu harus merupakan orang yang tidak dapat diminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Undang-undang menyatakan bahwa harus menyuruh mencantumkan suatu keterangamn palsu di dalam sautu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut.

b. Obyeknya: keterangan palsu

c. Kedalam akta otentik

Akta otentik yang di buat oleh Notaris mempunyai fungsi untuk membuktikan kebenaran tentang telah dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan mencantumkan nama masing-masing para pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum.

d. Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta itu.

e. Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian.

Mencari kantor advokat, lawyers, pengacara, penasehat hukum untuk membantu menangani permasalahan hukum ? Para Advokat, Lawyers, Pengacara di kantor Hukum RS & Partners (RS&) telah berpengalaman dan berlisensi dari organisasi Peradi. Hubungi kami melalui hotline kami 0813.1551.3353 atau Email : rsa.advokat@gmail.com

rs-lawyer.id | Secara umum tindak pidana terhadap tubuh dalam KUHP disebut penganiayaan. Dari segi tata bahasa, penganiayaan adalah suatu kata jadian atau kata sifat yang berasal dari kata dasar ”aniaya” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” sedangkan penganiayaan itu sendiri berasal dari kata bendayang berasal dari kata aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatakan bahwa menurut yurisprudensi, “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Defenisi tersebut sesuai dengan yang disebutkn dalam Pasal 351 ayat (4) yaitu ” Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

Mr. M. H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut. “menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka  pada  orang  laintidak  dapat  dianggap  sebagai  penganiayaan  kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.

Lalu apa itu “tindak pidana”? Ada  beberapa  batasan  mengenai  tindak  pidana  seperti yang dikemukakan oleh para sarjana antara lain :

  • Vos.  Mengatakan  tindak  pidana  adalah  “suatu  kelakukan manusia yang oleh peraturan undang-undang diberi pidana, jadi kelakukan  manusia  yang  pada  umumnya  dilarang  dan  diancam dengan pidana”.
  • Pompe mengatakan tindak pidana adalah “sesuatu pelanggaran kaedah   (pelanggaran   tata   hukum,Normovertreding)   yang diadakan  karena  kesalahan  pelanggaran,  yang  harus  diberikan pidana  untuk  mempertahankan  tata  hukum  dan  penyelamatan kesehateraan

Bahwa  untuk  terwujudnya  suatu tindak  pidana  atau  agar  seseorang  dapat dikatakan telah melakukan  tindak  pidana,  haruslah memenuhi unsur-unsur sebagi berikut :

  • Harus  ada  perbuatan  manusia,  jadi  perbuatan  manusia  yang dapat mewujudkan tindak pidana dengan demikian pelaku atau subjek  tindak  pidana  itu  adalah  manusia,  hal  ini  tidak  hanya terlihat  dari  pernyataan  “barangsiapa.
  • Perbuatan itu  haruslah  sesuai  dengan  apa  yang  dilukisakan didalam  ketentuan  undang-undang,  maksudnya  adalah  kalau seseorang  itu  dituduh  atau  disangka  melakukan  suatu  tindak pidana   tertentu,   misalnya   melanggar   ketentuan   Pasal   362 KUHPidana,    maka    unsur-unsur    Pasal    tersebut    haruslah seluruhnya terpenuhi.
  • Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, artinya orangnya harus dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
  • Perbuatan   melawan   hukum   harus besifat melawan hukum formil dan melawan hukum materil.

Sebagaimana kita ketahui bahwa penganiayaan adalah merupakan suatu tindak pidana. penganiayaan telah diatur dalam Bab XX Pasal 351 -358 KUHP. Delik penganiayaan termasuk suatu kejahatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang.

Pasal-Pasal dalam KHUP memberikan klasifikasi bermacam-macam terhadap tindak pidana penganiyaan. Dengan adanya klasifikasi tersebut turut mempengaruhi sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana.

Dalam pasal 351 KHUP terdapat perbedaan yaitu :

Ayat (1) : Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ayat (2) : Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Ayat (1) : Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Selanjutnya jika tindak pidana direncanakan lebih dahulu, ancaman pidana akan lebih berat lagi, terhadap tindak pidana tersebut juga diatur dalam pasal 353 KHUP, jika unsur adanya rencana untuk melakukan tindak pidana penganiayaan terpenuhi maka diancam pidana penjara sebagai berikut :

Dalam Pasal 353

Ayat (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Lalu pada pasal selanjutnya, Pasal 354 KUHP disebutkan jika ada unsur sengaja untuk melakukan tindak pidana penganiayaan maka diancam dengan pidana penjara sebagai berikut :

Ayat (1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Dilanjutkan lagi dalam pasal 355, jika tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 354 disertai dengan perencanaan terlebih dulu maka diancam pidana penjara sebagai berikut :

Ayat (1) Penganiyaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Ancaman pidana juga dapat dijatuhkan kepada mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam dengan Pasal 358 KUHP :

  1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat;
  2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati.

Penganiayaan Ringan

Hal ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

(1)  Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menumbulkan atau halangan untuk melakukan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan Pidana Penjara paling lama Lima bulan atau Pidana Denda paling banyak Empat Ribu lima Ratus Rupiah.

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni:

a)  Bukan berupa penganiayaan biasa

b)  Bukan penganiayaan yang dilakukan

  • Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya
  • Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah
  • Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum

c) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian.

Unsur Penganiayaan Berencana :

Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:

a) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang.

b) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain:

  1. Resiko apa yang akan ditanggung.
  2. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya.
  3. Bagaimana cara menghilangkan jejak.

c) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang tenang.

Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain:

Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat). Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.

Unsur-unsur penganiayaan berat dan berencana:

  • Kesengajaan
  • Direncanakan
  • Mengakibatkan luka berat
  • Mengakibatkan kematian

Mencari kantor advokat, lawyers, pengacara, penasehat hukum untuk membantu menangani permasalahan hukum ? Para Advokat, Lawyers, Pengacara di kantor Hukum RS & Partners Law Office telah berpengalaman dan berlisensi dari organisasi Peradi. Hubungi kami melalui hotline kami 0813.1551.3353 atau Email : rsa.advokat@gmail.com. www.rs.lawyer.id

Penulis : Tim rs.lawyer.id


rs-lawyer.id | Sebagaimana difahami bahwa Pembuktian Elektronik dinyatakan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE :  Pasal 5

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen.

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : 1. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan 2. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6 : Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Demikian juga dalam kaitannya dengan “Produk Notaris”, dimana Notaris berwenang membuat 2 (dua) Jenis akta yaitu: 1. Akta yang dibuat “oleh” notaris atau dinamakan “akta relaas” atau akta (ambtelijke akte), akta ini merupakan suatu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yaitu notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu. Termasuk di dalam akta “relaas” ini antara lain berita acara rapat/risalah para pemegang saham dalam perseroan terbatas.

2. Akta yang dibuat “di hadapan” notaris atau yang dinamakan “akta partij” (partij akten), akta yang dibuat dihadapan notaris, akta ini yang berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang di lakukan oleh pihak lain di hadapan notaris, artinya yang diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan notaris dan memberikan kerterangan itu di hadapan notaris, agar keterangan itu dikonstantir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Termasuk dalam golongan akta ini yaitu Perjanjian Sewa Menyewa, Jual Beli Saham, Jual Beli Mesin, Wasiat, Kuasa dan lain sebagainya. Terdapat syarat formil yang harus dipenuhi untuk mendukung keabsahan Akta Notaris. Bahwa syarat formil tersebut bersifat kumulatif dan bukan bersifat alternatif, artinya satu syarat saja tidak terpenuhi maka mengakibatkan Akta Notaris tersebut mengandung cacat formil dan berarti akibatnya tidak sah dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Dibuat dihadapan pejabat yang berwenang

Berkaitan dengan hal tersebut maka harus diperhatikan :

  • Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;
  • Notaris harus berwenang sepanjang yang mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;
  • Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;
  • Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Dihadiri para pihak :

Pasal 16 ayat (1) huruf l mengatakan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Berkaitan dengan hal tersebut dapat dipedomani Putusan MARI 3556 K/Pdt/1985 (walaupu untuk akta PPAT), dimana pihak penjual sendiri tidak datang menghadap, tetapi hanya dihadiri pembeli saja dengan keterangan bahwa para pihak telah sepakat mengadakan transaksi jual beli. Pada kasus tersebut pengadilan menegaskan, perjanjian jual beli yang tertuang dalam akta PPAT secara yuridis tidak memenuhi syarat untuk sahnya akta, karena tidak dihadiri oleh para pihak.

Alasan yang menyatakan akta demikian tidak sah, karena Akta Notaris yang bersifat Partij harus memuat keterangan yang saling bersesuaian antara kedua belah pihak sebagai landasan yang melahirkan persetujuan. Dari mana Notaris mengetahui adanya persesuaian pendapat antara para pihak, kalau yang datang memberikan dihadapan Notaris hanya satu pihak saja.

3. Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada Notaris

Pasal 39 UUJN-P mengatakan :

1. Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan

b. cakap melakukan perbuatan hukum.

2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

3. Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam Akta.

Bahwa dalam setiap Akta Notaris harus terdapat pernyataan dari Notaris bahwa para penghadap dikenal atau diperkenalkan kepadanya. Biasanya yang memperkenalkan para pihak pada Notaris adalah saksi. Para pihak datang kepada Notaris dan menyampaikan kehendaknya untuk kemudian dituangkan ke dalam akta.

4. Dihadiri oleh dua orang saksi

Bahwa pembuatan Akta Notaris dihadiri dua orang saksi yang bertindak menyaksikan kebenaran “berlangsungnya pembuatan akta dihadapan Notaris”.

Menurut Pasal 40 UUJN:

1. Setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain.

2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah;

b. cakap melakukan perbuatan hukum;

c. mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta;

d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan

e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

3. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.

4. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta.

Apabila yang bertidak sebagai saksi termasuk orang yang dilarang Pasal 40 UUJN, maka akta tersebut tidak sah sebagai Akta Notaris, tetapi hanya bernilai sebagai akta bawah tangan.

5. Menyebutkan Identitas Notaris, penghadap dan para saksi sebagaimana diatur dalam pasal 38 UUJN.

Pasal 38 UUJN menyebutkan :

1. Setiap Akta terdiri atas:

a. awal Akta atau kepala Akta;

b. badan Akta; dan

c. akhir atau penutup Akta.

2. Awal Akta atau kepala Akta memuat :

a. judul Akta;

b. nomor Akta;

c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan

d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

3. Badan Akta memuat :

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan

d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

4. Akhir atau penutup Akta memuat :

a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada;

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

5. Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.

Bahwa pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 38 mengakibatkan Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, apabila para pihak menandatanganinya.

6. Menyebut tempat, jam, hari, bulan dan tahun pembuatan akta sebagaimana disebutan dalam pasal 38 UUJN.

7. Notaris membacakan akta dihadapan para penghadap.

Pasal 16 ayat (1) huruf m menyebutkan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan

Pasal 16 ayat (7) menyebutkan: Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

8. Ditanda-tangani semua pihak.

Penandatanganan Akta Notaris sebagaimana disebutkan Pasal 44 UUJN dilakukan segera setelah selesai pembacaan akta kepada para pihak dan saksi.

Pasal 44 UUJN menyebutkan :

1. Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.

2. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.

3. Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.

4. Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) serta dalam Pasal 43 ayat (3) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.

5. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

9. Penegasan pembacaan, penerjemahan dan penanda-tanganan pada akhir akta.

Bahwa pencantuman yang berisi penegasan penandatanganan dalam penutup akta bertujuan untuk mengidentifikasi tandatangan para pihak dalam akta tersebut.

Pasal 38 ayat (4) UUJN menyebutkan :

Akhir atau penutup Akta memuat :

a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada;

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

Dalam ketentuan lain berdasarkan pasal 164 HIR dan 284 Rbg serta pasal 1886 KUHPerdata ada lima alat bukti dalam perkara perdata di Indonesia, yaitu :

1. alat bukti tertulis

2. alat bukti saksi

3. alat bukti persangkaaan

4. alat bukti pengakuan

5. alat bukti sumpah

Akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah :

“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuknya yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Maka, unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai berikut :

1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum;

2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

3. Bahwa akta itu dibuat di hadapan yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana dibuat.

Berkaitan dengan Alat Bukti Tertulis atau surat dalam acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti dalam acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dan paling utama di banding yang lain.

Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan atau pikiran seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan orang lain yang dapat digunakan untuk alat pembuktian.

Ada dua macam alat bukti tertulis atau surat, yaitu :

1. Surat yang bukan akta, dan

2. Surat yang berupa akta; yang dapat dibagi lagi atas:

a. Akta Otentik; dan

b. Akta dibawah tangan.

Lebih jauh Akta Otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, 285 RBg dan 1868 KUHPerdata akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut peraturan perundang itu oleh pemerintah menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku, baik undangan yang berlaku, baik dengan maupun tanpa bantuan pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oelh yang berkepentingan.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah Notaris, Panitera,Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, dsb. Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, dsb.

Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau orang warisnya atau orang- orang yang mendapatkan hak daripadanya.

Dengan katalain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidakbenaran lainnya tidak dapat dibuktikan.

Kewenangan notaris sendiri dapat dilihat dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yaitu :

a. Kewenangan Umum Notaris

Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris, yaitu membuat akta secara umum,hal ini disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris, dengan batasan sepanjang :

  • Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
  • Menurut Lubbers, bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (kedalam bentuk akta), tapi juga mencatat dan menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikirkan juga bahwa akta itu harus berguna dikemudian hari jika terjadi keadaan yang khas.
  • Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
  • Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.

Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut di dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris :

  • Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak kedalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
  • Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
  • Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.

b. Kewenangan Khusus Notaris

Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu :

  • Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  • Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  • Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
  • Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
  • Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
  • Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
  • Membuat akta risalah lelang.

c. Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian.

Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan ditentukan kemudian (ius constituendum).

Hubungannya dengan Notaris dan Kewenangannya?

Dirjen AHU Kemenkumham RI: Cahyo Rahadian Muzhar pada tanggal 1 Juli 2019 ketika melakukan pengukuhan pengurus PP INI, menyatakan :

Notaris harus dapat membantu pemerintah dalam menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan investasi yang nyaman dan aman bagi para investor, khususnya dari luar negeri.

“Profesi notaris bersama dengan akuntan dan pengacara merupakan profesi yang sangat penting bagi pengembangan iklim investasi di Indonesia.

Oleh karena itu, integritas dan profesional seorang notaris sangat diperlukan dalam mensukseskan era Industri 4.0.”

Memang beberapa waktu yang lalu dunia notaris sudah disosialisasikan dengan cyber notary. Walaupun sampai dengan sekarang masih sebatas konsep.

Cyber notary adalah konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi bagi para notaris dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, seperti: digitalisasi dokumen, penanda-tanganan akta secara eletronik, pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham secara teleconference, dan hal-hal lain yang sejenis.

Pada dasarnya konsep cyber notary tersebut sudah pernah di perkenalkan pada tahun 1995. Namun, berhubung belum adanya fasilitasi berupa UU yang mengatur mengenai cyber notary tersebut, maka konsep cyber notary dimaksud menjadi hanya sebatas konsep saja, sehingga dalam konteks era digital 4.0 sekarang ini masih belum tersambung.

Pada prinsipnya, konsep cyber notary ditujukan untuk mempermudah transaksi antara para pihak yang tinggalnya berjauhan, sehingga jarak bukan menjadi masalah lagi. contohnya, pemegang saham yang berada di Amerika, Jepang ataupun singapura, dapat mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan menggunakan media teleconference dengan pemegang saham yang ada di Indonesia, dengan disaksikan oleh Notaris di Indonesia.

Sehingga, kehadiran fisik dari pemegang saham tersebut tidak diperlukan. Pemegang saham yang berada di luar negeri tersebut dapat dianggap tetap menghadiri RUPS dimaksud dan hak suaranya tetapi di hitung dalam quorum kehadiran.

Demikian pula pada saat penanda-tanganan akta RUPS dimaksud, pemegang saham yang keberadaannya di luar negeri tersebut dapat menanda-tangani dokumen rapat secara elektronik.

Konsep mengenai pelaksanaan RUPS secara teleconference ini pada dasarnya sudah diatur dalam pasal 77 UUPT, yang pada ayat 1 nya menyatakan bahwa penyelenggaraan RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.

Akan tetapi ternyata tidak merubah esensi Pasal 38 UUJN.

Memang dalam hal kebutuhan bisnis memerlukan kecepatan dan ketepatan menjadi urgensi yang harus diperhatikan. Namun demikian, sifat otentik dari suatu akta notaris tetap harus dijaga. Dan secara normative konsep cyber notary tersebut belum diakomodasi dalam UUJN.

Pasal 1 angka 7 UUJN merumuskan Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan Undang-Undang ini.

Selanjutnya, pasal 16 ayat (1) huruf i merumuskan :

Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.

Termasuk keadaan sekarang ini dalam KEDARURATAN KESEHATAN MASYARAKAT, tidak ada pengaturan yang dapat dirujuk atau dijadikan dasar hukum berkaitan dengan PENGESAMPINGAN ketentuan UUJN dan UUJN-P, termasuk tentunya UU ITE (Pasal 5 ayat (4).

Pemberlakukan UUJN juncto UUJN-P adalah hukum yang memaksa, dimana Hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya.

(Dr. Udin Narsudin, SH., M.Hum., SpN).


Bisakah Notaris Membuat Akta Pengakuan Anak, Karena Menurut UU Aminduk Saja Dibolehkan

rs-lawyer.id | Untuk menjawabnya tentu harus berangkat dari pertanyaan apa yang dimaksud dengan pengakuan anak dan pengesahan anak?

Berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata memuat pengaturan mengenai, bagaimana pengakuan secara sukarela itu diberikan, dengan mengatakan:

Terdapat 3 (tiga) cara untuk mengakui anak luar kawin (ALK) secara sukarela, yaitu :

  • DI DALAM AKTA KELAHIRAN anak yang bersangkutan;
  • DI DALAM AKTA PERKAWINAN; dan
  • DI DALAM AKTA OTENTIK.

Karena pengakuan itu baru sah kalau diberikan di hadapan seorang Notaris atau Pegawai catatan sipil (bisa dalam surat lahir, akta perkawinan, maupun dalam akta tersendiri), padahal keduanya adalah pejabat Umum, yang memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka dapat dikatakan, bahwa PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN HARUS DIBERIKAN DALAM SUATU AKTA OTENTIK.

Bahwa Pengakuan Anak berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU No. 23/2006 tentang Adminitrasi Kependudukan (Adminduk), yang dimaksud dengan pengakuan anak adalah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir diluar ikatan perkawinan sah atas persetujuan ibu kandungnya tersebut. Pengertian anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang dapat diakui  tidak termasuk anak zina dan anak sumbang.

Pengakuan anak dalam penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, selaras dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dan Pasal 44 UU Perkawinan, karenanya yang mengakui sebagai anak itu bukan ibu yang melahirkannya, melainkan ayahnya dalam rangka menyatakan/menetapkan keturunannya.

Menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan secara otomatis dan demi hukum, mempunyai hubungan dengan ibu yang melahirkan seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan, karenanya tidak diperlukan adanya pengakuan ibunya.

Demikian pula berdasarkan Pasal 44 UU Perkawinan seorang ayah dapat mengingkari seseorang bukan anak sahnya, yang kesahan/ketidaksahannya ditetapkan oleh pengadilan, artinya ada kemungkinan seorang ayah memberikan pengakuan terhadap seseorang sebagai anaknya secara paksa berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal 49 UU No. 23/2006 yang kemudian diubah dengan UU No. 24/2013 Tentang Administrasi Kependudukan, mempersempit pengertian pengakuan anak. Batasannya dirumuskan lagi dalam penjelelasan atas Pasal 49 ayat (1) UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi: ”YANG DIMAKSUD DENGAN PENGAKUAN ANAK MERUPAKAN PENGAKUAN SEORANG AYAH TERHADAP ANAKNYA YANG LAHIR DARI PERKAWINAN YANG TELAH SAH MENURUT HUKUM AGAMA DAN DISETUJUI OLEH IBU KANDUNG ANAK TERSEBUT”.

Dengan demikian Pengakuan Anak terbatas pada anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama. Dan pengakuan anak  yang dimaksud dalam UU Adminduk dibatasi hanya pada anak hasil perkawinan yang telah san menurut hukum agama (perkawinan tidak tercatat).

Bandingkan dengan PUTUSAN MK Nomor 46/PUU-VIII/2010

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

Lalu apa yang dimaksud dengan PENGESAHAN ANAK?

Berdasarkan Isi Pasal 277 KUHPerdata dapat disimpulkan, bahwa PENGESAHAN MERUPAKAN SARANA HUKUM, DENGAN MANA SEORANG ANAK LUAR KAWIN DIUBAH STATUS HUKUMNYA SEHINGGA MENDAPATKAN HAK-HAK SEPERTI YANG DIBERIKAN OLEH UNDANG-UNDANG KEPADA SEORANG ANAK SAH.

Tindakan pengesahan bisa kita mengerti kalau kita menyadari, bahwa kedudukan anak luar kawin termasuk yang sudah diakui secara sah oleh bapaknya di dalam hukum adalah dianggap sama dibanding dengan anak sah, dalam segi hak-haknya, baik dalam hukum keluarga, tetapi juga dan terutama di dalam hukum waris.

Sebagaimana difahami anak luar kawin yang diakui secara sah oleh bapaknya, hanya mempunyai hubungan-hukum dengan bapaknya saja (mempunyai akibat-hukum yang terbatas). Mereka berada di bawah perwalian (Pasal  300 KUHPerdata), dan dalam pewarisan, mereka mendapat hak bagian yang lebih kecil daripada jika mereka adalah anak sah (Pasal 863 KUHPerdata dan selanjutnya).

Bahwa “tindakan” pengesahan, dapat kita simpulkan, bahwa “PENGESAHAN” MERUPAKAN SUATU TINDAKAN AKTIF, sehingga tidak mungkin tercapai dengan hanya tinggal diam saja.

Anak yang lahir diluar perkawinan dapat disahkan sebagai anak sah melalui perkawinan kedua orang tuanya. Pengesahan anak ini merupakan tindak lanjut dari pengakuan anak. Akibat hukum dari pengakuan anak hanya menimbulkan hubungan perdata antara anak luar kawin yang diakui dengan ayahnya atau ibunya.

Pengesahan anak merupakan upaya hukum untuk memberikan legalisasi kepada seseorang dengan status dan hak sebagai anak sah sesuai dengan hukum masing-masing negara.

Pengaturan pengesahan anak-pun hanya dibatasi pada anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama sebagaimana penjelasan Pasal 50 ayat (1) UU No. 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan yaitu:

“yang dimaksud dengan pengesahan anak merupakan pengesahan status anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara”.

(Dr. Udin Narsudin, SH., M.Hum., SpN).