• Law Office Ryanto Sirait & Partners
+ (6221) 478 65 971
+ (62) 813 1551 3353
08:00 - 18:00
Senin - Jumat

Kategori: Artikel

Sekilas, laporan dan pengaduan terlihat mempunyai arti sama. Namun, dalam hukum, kedua istilah ini memiliki defenisi berbeda. Secara defenitif, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana (Pasal 1 angka 24 KUHAP). Artinya, seseorang dapat saja melaporkan sesuatu, baik atas kemauannya sendiri ataupun atas kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang.

Sedangkan, pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukuk seorang yang telah melakukan tindak pidana termasuk aduan yang merugikannya (Pasal 1 angka 25 KUHAP). Pengertian ini menunjukkan bahwa aduan bermakna bila seseorang merasa dirugikan hak hukumnya oleh orang lain, maka ia dapat mengadukan perilaku tersebut dengan disertai keinginan untuk memperoleh keadilan atau tuntutan hukum.

Menurut R. Tresna, istilah pengaduan (klacht) tidak sama artinya dengan pelaporan (aangfte) ( R. Tresna, asas-asas Hukum Pidana disertai pembahasan beberapa perbuatan pidana yang penting (Jakarta: Tiara,1959). Perbedaan secara umum keduanya adalah sebagai berikut :

  • Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, dimana adanya pengaduan itu menjadi syarat.
  • Setiap orang dapat melaporkan suatu kejadian sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
  • Pelaporan tindak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, sedangkan pengaduan dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaliknya merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan.

Pengaduan yang bersifat khusus hanya bisa dilakukan oleh pihak tertentu yang berkepentingan, sehingga dapat dicabut sebelum sampai ke persidangan apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu. Jika terjadi pencabutan pengaduan, maka perkara tidak dapat diproses lagi.

Adapun tertangkap tangan, yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau tengah melakukan tindak pidana dipergoki oleh orang lain, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan (Pasal 1 angka 19 KUHAP). Sebagai contohnya adalah berbagai kasus suap yang ditangani KPK.

Terkait laporan maupun aduan, dalam praktiknya di masyarakat, lebih sering digunakan istilah yang sama, yakni pelaporan. Hal tersebut dikarenakan status yang disandang yang memasukkan laporan maupun aduan disebut pelapor.

Dalam melakukan pelaporan atau pengaduan ke kepolisian, dapat dilakukan sendiri ataupun langsung mengajak atau didampingi oleh kuasa hukum/pengacara/advokat. Namun, pada prinsipnya, jika si pelapor hendak melakukan pelaporan sendiri diperbolehkan. Ketika si pelapor datang ke kepolisian, ia akan diarahkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) atau juga sering disebut Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), serta diminta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke Kepolisian. Selin itu, jika si pelapor hendak langsung didampingi atau mewakilkan pelaporan kepada advokatnya diperbolehkan, sepanjang advokat sudah diberikan surat kuasa khusus untuk diwakilkan dari pelapor sebagai kliennya.

Ditulis ulang dari Buku Lukman Santoso AZ, Anti Bingung Beracara di Pengadilan dan Membuat Surat Kuasa, hal 21-24 (Cet-Laksana Yogyakarta 2017)


rs-lawyer.id – Selain pembatasan terhadap pemberlakuan suatu peraturan hukum, terdapat pula pengecualian pemberlakuan suatu peraturan hukum. Pengecualian terhadap suatu peraturan hukum biasanya dinyatakan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut. Pengecualian yang demikian dikenal dengan istilah klausula eksepsional. Hampir di semua lapangan hukum, baik hukum materiil maupun hukum formil, terdapat pengecualian untuk memberlakukan peraturan hukum tersebut. Hukum materiil adalah sekumpulan aturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang pemberlakuannya dapat dipaksakan. Sedangkan hukum formil adalah sekumpulan aturan untuk menegakkan hukum materiil.

Terkait dengan hal ini, kita harus mengintegrasikan pengecualian ke dalam analisis kita terhadap aturan hukum. Analisis kita ini akan lebih kompleks karena tidak hanya akan menyangkut satu ayat dari suatu aturan hukum, namun analisis beberapa ayat yang terkait yang menyangkut satu hal yang sama. Kita akan melakukan analisis ini dengan menambah syarat-syarat kumulatif dan juga menggunakan negasi. Contoh pengecualian terhadap peraturan hukum dalam lapangan hukum materiil namun berkaitan dengan hukum pidana adalah ketentuan dalam Pasal 310 KHUP yang menyebutkan :

(1) Barang siapa merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 300,- (tiga ratus rupiah).

(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa untuk mempertahankan dirinya sendiri.

Ketentuan dalam Pasal 310 ayat (3) adalah pengecualian terhadap ketentuan dalam ayat (1). Artinya, jika ketentuan ayat (3) tersebut terpenuhi maka ayat (1) tidak dapat diterapkan. Analisisnya adalah sebagai berikut :

  • AH : Orang tersebut dapat dihukum karena menista dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 300,- (tiga ratus rupiah).
  • S1a : Seseorang merusak kehormatan orang lain.
  • S1b : Seseorang merusak nama baik orang lain.
  • S2 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan.
  • S3 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu.
  • S4 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya bukan untuk kepentingan umum.
  • S5 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya bukan untuk pembelaan diri.

Ada kalanya pengecualian terhadap suatu peraturan hukum tidak dinyatakan secara eksplisit dalam suatu aturan. Dalam konsteks hukum pidana pengecualian terhadap suatu peraturan hukum merupakan alasan penghapus pertangungjawaban pidana yang secara garis besar terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar berarti sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana dihapus, sedangkan alasan pemaaf berarti sifat dapat dicelanya pelaku kejahatan yang dihapus. Alasan pembenar meliputi perintah jabatan, perintah undang-undang, pembelaan terpaksa dan keadaan darurat. Sementara alasan pemaaf meliputi kemampuan bertanggung jawab, perintah jabatan yang tidak sah, pembelaan terpaksa yang melampaui batas dan daya paksa.

Disalin dari Buku Keterampilan Hukum Oleh Sigit Riyanto, DKK (Hal 44).