,
  • LAW OFFICE RYANTO SIRAIT & PARTNERS
(021) 22 474 915
0813-1551-3353
08:00 -17:00 WIB
Senin - Jumat

Tag: hukum pidana

Memahami Hukum Acara Pidana

Hukum pidana dibagi menjadi dua yaitu:

Hukum pidana materiil, yaitu kumpulan aturan yang berisi tentang perbuatan apa saja yang dapat dihukum (KUHP).

Hukum pidana formil, yaitu kumpulan peraturan yang berisi tata cara bagaimana menghukum perbuatan yang dapat dihukum tadi (KUHAP).

Menurut Prof. Moeljatno, SH, Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang memberi dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.

Menurut Simons, Hukum Acara Pidana di sebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana Negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk memidanankan dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.

Tujuan Hukum Acara Pidana

Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.

Van Bemellen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu :

  1. Mencari dan menemukan kebenaran;
  2. Pemberian keputusan oleh hakim;
  3. Pelaksanaan keputusan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung, hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana dan merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badanbadan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.

Menurut Eddy O.S. Hiariej, hakikatnya hukum acara pidana memuat kaidah-kaidah yang mengatur tentang penerapan atau tata cara antara lain: penyelidikan, penyidikan, penuntutan pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan putusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan, maka, pengertian hukum acara pidana dapat dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kaidah dalam beracara diseluruh proses peradilan pidana, sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan didepan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materil.

Asas-asas Hukum Acara Pidana

  1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
  2. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)
  3. Asas Oportunitas
  4. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
  5. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama Di Depan hakim
  6. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya Tetap
  7. Asas Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
  8. Asas Akusator dan Inkisator
  9. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan dengan Lisan

Pihak-Pihak yang terkait dalam hukum acara pidana

  1. Penyidik/Penyelidik
  2. Penuntut Umum
  3. Hakim
  4. Tersangka/Terdakwa/Terpidana
  5. Penasihat Hukum

Rangkaian proses hukum acara pidana

  1. Penyelidikan

“Serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. ketentuan umum KUHAP Pasal 1 butir 5.

2. Penyidikan

“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”.

3. Penangkapan

“Menurut Pasal 1 Butir 20 KUHAP dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan.

4. Tertangkap Tangan

”Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudahnya beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila saat kemudian padanya ditentukan benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjuk kan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu dalam terjadinya tindak pidana itu.

5. Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim”.

Dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyebutkan sebagai berikut:

“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal”:

  1. Perbuatan pidanayang diancamdenganpidanapenjara lima tahun atau lebih;
  2. Perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 335, 351 dan sebagainya.

6. Penggeledahan

Ada dua bentuk penggeledahan yang diatur dalam KUHAP yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan.

Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-undang ini (Pasal 1 angka 17 KUHAP).

Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita (Pasal 1 angka 18 KUHAP).

7. Penyitaan Barang Bukti

Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 tentang penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.

8. Penyegelan

Penyegelan yang dimaksud disini adalah penyegelan atas barang bukti atau barang sitaan yang dilakukan oleh penyidik.Untuk penyegelan benda sitaan atau barang bukti ini harus dibuatkan berita acaranya yang memuat uraian tentang alat/pembungkusan dan penyegelannya sehingga barang atau benda sitaan tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam pembungkusnya tanpa merusak segel dan pembungkus itu sendiri.

9. Pembukuan Surat

a. Pengertian dan Fungsi Surat Dakwaan

Ketika penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan dan setiap penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan selalu disertai dengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim dipengadilan. (Pasal 140 ayat 1 KUHAP).

Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tidak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil periksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.

b. Perubahan Surat Dakwaan

Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang,baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntututannya (Pasal 144 (1) KUHAP)perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali,selambat lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.

c. Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan

Surat dakwaan dikenal dengan bentuk surat dakwaan tunggal, surat dakwaan Alternatif, Surat dakwaan Subsidier, Surat Dakwaan Komulatif dan surat dakwaan kombinasi.

  1. Surat Dakwaan Tunggal

Dalam Surat dakwaan tunggal terhadap terdakwa hanya didakwakan melakukan satu tindak pidana.

2. Surat Dakwaan Subsidier

Dalam surat dakwaan yang berbentuk subsidier didalamnya dirumuskan/disusun beberapa tindak pidana/ delik secara berlapis / bertingkat dimulai dari delik paling berat ancaman pidananya sampai delik paling ringan.

3. Surat Dakwaan Alternatif

Dalam surat dakwaan yang berbentuk alternatif, rumusan penyusunannya mirip dengan bentuk surat dakwaan subsidier yaitu didakwakan beberapa delik, tetapi sesungguhnya dakwaan yang dituju dan yang harus dibuktikan hanya satu tindak pidana/ dakwaan.

4. Surat dakwaan komulatif

Dalam surat dakwaan komulatif didakwakan secara serempak beberapa delik/ dakwaan yang masing masing delik berdiri sendiri yang dalam praktik disusun.

5. Surat dakwaan kombinasi

Dalam Surat dakwaan kombinasi didakwakan beberapa delik/dakwaan secara komulatif yang terdiri dari dakwaan subsidier dan dakwaan alternatif secara serempak sekaligus.

10. Prapenuntutan

Di dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, (tentang wewenang penuntut umum) yaitu ”Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”.

Jadi istilah prapenuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu hanyalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Isitlah prapenuntutan di dalam HIR adalah termasuk penyidikan lanjutan.

11. Penuntutan

Pengertian penuntutan sebagaimana menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, bahwa ”Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalamundang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan”.

Asas-Asas Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1 Prof. Moeljatno, SH dalam bukunya Asas-asas hukum pidana edisi revisi

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar aturan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.

Asas Hukum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege

Asas tersebut diatas diartikan tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu). Asas hukum pidana yang sangat mendasar adalah Asas Legalitas (Principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undang.

Asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias)
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Asas Legalitas telah tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan seseorang harus diadili menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan (Lex termporis delicti).

Namun Lex termporis delicti diadakan pembatasan, yaitu tidak tidak dapat diberlakukan jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan dan sebelum perkara diadili. Sehingga dalam hal perkara demikian, yang dipakai untuk mengadili ialah aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Pasal 1 ayat (2) KUHP menentukan: “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya (terdakwa).

Batas-Batas Berlakunya Perundang-Undangan Hukum Pidana Menurut Tempat terjadinya Perbuatan

Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan.

Terdapat dua asas pemberlakuan perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan:

  1. Asas Teritorial : Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing.
  2. Asas Personal : Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana saja, juga diluar wilayah negara. Juga dinamakan prinsip nasional yang aktif.

Dari kedua asas diatas, asas Teritorial adalah suatu asas yang lazim dipakai oleh banyak negara, dan termasuk Indonesia menggunakan Asas Teritorial. Dengan menggunakan asas ini maka tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara harus tunduk kepada peraturan-peraturan negara.

Pasal 2 KUHP : Ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam wilayah indonesia bersalah melakukan perbuatan pidana.

Istilah Perbuatan Pidana

Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. (*RS)

Pengecualian Terhadap Suatu Peraturan Hukum

rs-lawyer.id – Selain pembatasan terhadap pemberlakuan suatu peraturan hukum, terdapat pula pengecualian pemberlakuan suatu peraturan hukum. Pengecualian terhadap suatu peraturan hukum biasanya dinyatakan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut. Pengecualian yang demikian dikenal dengan istilah klausula eksepsional. Hampir di semua lapangan hukum, baik hukum materiil maupun hukum formil, terdapat pengecualian untuk memberlakukan peraturan hukum tersebut. Hukum materiil adalah sekumpulan aturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang pemberlakuannya dapat dipaksakan. Sedangkan hukum formil adalah sekumpulan aturan untuk menegakkan hukum materiil.

Terkait dengan hal ini, kita harus mengintegrasikan pengecualian ke dalam analisis kita terhadap aturan hukum. Analisis kita ini akan lebih kompleks karena tidak hanya akan menyangkut satu ayat dari suatu aturan hukum, namun analisis beberapa ayat yang terkait yang menyangkut satu hal yang sama. Kita akan melakukan analisis ini dengan menambah syarat-syarat kumulatif dan juga menggunakan negasi. Contoh pengecualian terhadap peraturan hukum dalam lapangan hukum materiil namun berkaitan dengan hukum pidana adalah ketentuan dalam Pasal 310 KHUP yang menyebutkan :

(1) Barang siapa merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 300,- (tiga ratus rupiah).

(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa untuk mempertahankan dirinya sendiri.

Ketentuan dalam Pasal 310 ayat (3) adalah pengecualian terhadap ketentuan dalam ayat (1). Artinya, jika ketentuan ayat (3) tersebut terpenuhi maka ayat (1) tidak dapat diterapkan. Analisisnya adalah sebagai berikut :

  • AH : Orang tersebut dapat dihukum karena menista dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 300,- (tiga ratus rupiah).
  • S1a : Seseorang merusak kehormatan orang lain.
  • S1b : Seseorang merusak nama baik orang lain.
  • S2 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan.
  • S3 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu.
  • S4 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya bukan untuk kepentingan umum.
  • S5 : Seseorang tersebut melakukan perbuatannya bukan untuk pembelaan diri.

Ada kalanya pengecualian terhadap suatu peraturan hukum tidak dinyatakan secara eksplisit dalam suatu aturan. Dalam konsteks hukum pidana pengecualian terhadap suatu peraturan hukum merupakan alasan penghapus pertangungjawaban pidana yang secara garis besar terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar berarti sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana dihapus, sedangkan alasan pemaaf berarti sifat dapat dicelanya pelaku kejahatan yang dihapus. Alasan pembenar meliputi perintah jabatan, perintah undang-undang, pembelaan terpaksa dan keadaan darurat. Sementara alasan pemaaf meliputi kemampuan bertanggung jawab, perintah jabatan yang tidak sah, pembelaan terpaksa yang melampaui batas dan daya paksa.

Disalin dari Buku Keterampilan Hukum Oleh Sigit Riyanto, DKK (Hal 44).