Memahami Putusan Sela Dalam Perkara Pidana dan Perkara Perdata

I. Putusan Sela dalam Perkara Perdata

Putusan adalah: suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga peryataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.

Ada dua golongan putusan dalam perkara perdata, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela adalah putusan yang diadakan sebelum hakim memutus perkaranya, yaitu yang memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Jadi putusan sela ini diambil oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusan akhir.

Mengenai putusan sela disinggung dalam Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 48 Rv. Menurut pasal tesebut, “hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir (eind vonnis), yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan beriangsung”. Namun putusan itu tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai pokok perkara. Putusan tersebut adalah, putusan preparatoir, putusan interlocutoir, putusan insidentil dan putusan prvisionil.

Putusan Sela atau putusan antara, gunanya untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela adalah suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir yang berisikan beban pembuktian antara tergugat dan penggugat, fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara.

Putusan sela ini menurut Pasal 185 HIR/196 RBg adalah:

  1. Putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah melainkan hanya tertulis dalam berita acara persidangan saja.
  2. Kedua belah pihak dapat meminta, supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan ongkos sendiri.

Jenis-jenis Putusan Sela:

  1. Putusan Preparatoir

Putusan preparatoir (preparatoir vonnis) merupakan salah satu bentuk spesifikasi yang terkandung dalam putusan sela. Tujuan putusan ini merupakan persiapan jalannya pemeriksaan. Misalnya sebelum hakim memulai pemeriksaan, lebih dahulu menerbitkan putusan perparatoir tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan.

2. Putusan Interlocutoir

Putusan Interlocutoir adalah putusan sela yang berisi perintah untuk mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap bukti-bukti yang ada pada para pihak yang sedang berperkara dan para saksi yang dipergunakan untuk menentukan putusan akhir.

Menurut R. Soepomo, seringkali Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan interlocutoir saat proses pemeriksaan tengah beriangsung. Putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela (een interlocutoir vonnis is een special sort tussen vonnis) yang dapat berisi bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, antara lain sebagai berikut:

a. Putusan interlokutor yang memerintahkan pendengaran keterangan ahli, berdasarkan Pasal 154 HIR Apabila hakim secara ex officio maupun atas perintah salah satu pihak, menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang kompeten menjelaskan hal yang belum terang tentang masalah yang disengketakan, hal itu dituangkan dalam putusan sela yang disebut putusan interlokutor.

b. Memerintahkan pemeriksaan setempat (gerechtelijke plaatssopmening) berdasarkan Pasal 153 HIR Jika hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu dilakukan pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlokutor yang berisi perintah kepada hakim komisaris dan panitera untuk melaksanakannya.

c. Memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah penentu atau tambahkan brdasarkan Pasal 155 HIR, Pasal 1929 KUHPerdata maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlokutor.

d. Bisa juga memerintahkan pemanggilan saksi berdasarkan Pasal 139 HIR, yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat tetapi tidak dapat menghadirkannya berdasarkan Pasal 121 HIR, pihak yang berkepentingan dapat meminta kepda hakim supaya saksi tersebut dipanggil secara resmi oleh juru sita. Apabila permintaan ini dikabulkan, hakim menerbitkan surat perintah untuk itu yang dituangkan dalam bentuk putusan interlokutor.

e. Putusan interlokutor dapat juga diterbitkan hakim untuk memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang terlibat dalam suatu sengketa oleh akuntan publik yang independent.

3. Putusan Insidentil

Putusan Insidentil (incidenteel vonnis) merupakan putusan sela yang berkaitan langsung dengan gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang dibebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita agar sita dilaksanakan yang disebut cautio judicatum solvi.

4. Putusan Provisi

Diatur dalam Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg disebut juga provisionele heschikking, yakni putusan yang bersfat sementara atau interim award (temporary disposal) yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Dengan demikian putusan provisi ini tidak boleh mengenai materi pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan sementara berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan, misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah yang menjadi obyek perkara dengan ancaman hukuman membayar uang paksa.

Fungsi putusan sela dalam proses pemeriksaan perkara perdata adalah untuk memungkinkan dan mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara seterusnya. Dan Perkara perdata yang dapat dimintakan putusan sela adalah hanya terhadap perkara perdata yang memerlukan untuk pemeriksaan ditempat, putusan pemisahan beberapa gugatan, putusan provisi dan putusan untuk membuktikan dengan pemeriksaan saksi.

II. Putusan Sela dalam Perkara Pidana

Dalam persidangan perkara pidana untuk kesempatan pertama Jaksa Penuntut Umum akan membacakan surat Dakwaan. Selanjutnya terhadap Surat Dakwaan ini, Terdakwa atau Penasihat Hukum terdakwa akan menjawab surat Dakwaan dan ini disebut dengan Eksepsi/Tangkisan (plead). Tentang bentuk putusan hakim terhadap eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya yang berupa ‘Putusan’, dapat “putusan bukan putusan akhir (Putusan Sela)” dan “putusan akhir (final)”, tergantung alasan keberatan yang disampaikan oleh Terdakwa.  

Biasanya sebelum ‘putusan sela’ dijatuhkan oleh hakim, proses diawali dengan pengajuan eksepsi atau keberatan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya. Bisa juga pengajuan eksepsi berbarengan setelah penuntut umum selesai membacakan dakwaan dan hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya untuk mengajukan eksepsi atau keberatan. Selanjutnya hakim memberikan hak/kesempatan kepada penuntut umum untuk menanggapi (menyatakan pendapat) tentang eksepsi yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, dan ini sudah bersifat final karena undang-undang tidak membuka kesempatan untuk ditanggapi lagi.

Apabila hakim “menerima eksepsi atau keberatan” yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, maka pemeriksaan perkara ‘tidak dilanjutkan (dihentikan)’. Penghentian atau tidak melanjutkan pemeriksaan ini adalah bersifat ‘permanen’, jika Penuntut Umum tidak mengajukan perlawanan ke Pengadilan tinggi. Apabila hakim “menolak eksepsi atau keberatan” dari terdakwa atau penasehat hukumnya, berarti Pengadilan Negeri yang bersangkutan berwenang untuk mengadilinya. Pemeriksaan perkara ‘harus’ dilanjutkan, tidak boleh dihentikan.

Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Eksepsi penasihat hukum inilah yang memegang peranan penting dalam dijatuhkannya putusan sela oleh hakim. Kedudukan putusan sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.

Putusan sela diatur sebagaimana dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan pelaksanaannya juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan sela merupakan salah satu alat kontrol terhadap kinerja Jaksa / Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan datau dalam melakukan suatu penyidikan.

Bentuk putusan hakim atas eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya adalah sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yaitu berupa ‘penetapan’ dan ‘putusan’ yang dapat berbentuk putusan sela dan putusan akhir dan upaya hukum terhadap putusan hakim atas eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya dan oleh penuntut umum adalah berupa perlawanan yang diatur dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, Pasal 149 ayat (2) KUHAP, Pasal 156 ayat (3) KUHAP dan Pasal 214 ayat (4) KUHAP, dan bersama-sama permintaan banding yang diatur dalam Pasal 156 ayat (5) huruf a KUHAP.

Putusan sela dalam Perkara Pidana dapat disimpulkan dari Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang menentukan: “Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

Pasal 156 ayat (2), berbunyi : Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

Adapun putusan sela dalam perkara pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat berupa:

  1. Surat dakwaan batal demi hukum, karena surat dakwaan tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
  2. Bahwa dalam perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, maka surat pelimpahan perkara akan di kembalikan kepada jaksa penuntut umum, untuk selanjutnya kejasaan negeri yang bersangkutan akan menyampaikan kepada kejaksaan negeri yang tercantum dalam penetapan hakim ( Pasal 148 KUHAP).
  3. Surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, karena  surat dakwaan tersebut sudah lewat waktu (daluarsa), pemeriksaan untuk perkara yang sama sudah pernah dilakukan (nebis in idem), dan perkara memerlukan syarat aduan.

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

Bagikan
0Shares